14. Hujan Yang Hangat

2K 134 39
                                    

Setelah putus dari Fika kemarin, Aryo resmi menjadi jomblo. Ralat, lebih tepatnya single. Sebab kata generasi milenium, single itu pilihan, sedangkan jomblo itu free, prihatin. Dan putusnya mereka merupakan sebuah pilihan. Meski hanya Fika yang memilih. Jujur saja, Aryo masih berat untuk menerima pilihan gadis itu.

Namun, bagaimana lagi? Putusnya hubungan bisa terjadi meski yang memintanya hanya sepihak. Tetapi lanjutnya hubungan tidak bisa terjadi kalau yang berjuang hanya sepihak. Begitu bukan?

"Galau, Yo?" Dikka mengaktifkan handphone-nya. Melalu layar HP, ia melihat sahabatnya sedang fokus membaca buku sambil duduk bersandar di sofa. Sedangkan dia sendiri berbaring di sofa yang berbeda.

"Gak," jawabnya singkat, tidak membenarkan ekspektasi Dikka.

Alis Dikka terangkat sebelah, "Masa?"

"Iya. Tadi, Fika udah ngejelasin semuanya. Gue percaya, rasa cinta dia masih sama ke gue. Bedanya, dia gak pengen terikat hubungan yang salah."

Kali ini Dikka tidak akan bertanya Kenapa malah putus? Ia sudah tahu jawabannya. Cukup mengerti dengan penampilan Fika yang berubah serta penjelasan hukum pacaran dalam Islam di google. Sepulang dari taman kota, ia langsung mencari dan membacanya-karena Shilla yang menyuruh.

Untuk menguatkan opini maupun fakta yang ia baca dari google, tadi siang, usai salat dzuhur, Dikka sampai bertanya langsung pada salah satu dosen PAI di kampusnya, Pak Ustadz, dan orang alim lainnya. Iya, Dikka sampai senekad itu karena rasa penasarannya. Menurut Dikka, yang perlu digarisbawahi: pacaran dilarang keras karena kegiatan negatif (tidak sesuai syariat Islam) yang ada di dalamnya.

Aryo kembali fokus membaca buku tuntunan salat yang dibelinya tadi siang. Setelah membaca ulang doa qunut yang sempat ia lupa, ia jadi ingat lagi sekarang. Pemuda itu kemudian membacanya berkali-kali dengan tanpa suara.

Sekilas, cowok itu melihat Dikka rajin menatap layar ponselnya. Tadinya Aryo ingin menegur karena berani-beraninya Dikka asyik bermain ponsel sendiri saat ada dia. Namun, ia urungkan niat itu setelah tahu apa yang sedang Dikka tatap.

Kalimat 'Jangan salah paham terlebih dahulu terhadap apa yang kamu lihat, karena terkadang itu bukan kenyataannya, tapi cuma kayaknya' memang benar. Dikka juga ternyata sedang belajar. Belajar mengaji. Aryo lihat sendiri.

"Ngaji lo?"

"Hm." Dikka hanya berdehem untuk menanggapi pertanyaan Aryo barusan.

Jujur, Dikka sangat menyesal karena saat masih kecil, ia tidak pernah mau belajar mengaji. Jika mama menyuruh dia untuk sekolah madrasah di sore hari, Dikka kecil lebih memilih untuk bermain bola di lapangan bersama teman-teman sebayanya. Usai waktu maghrib pun, ia lebih suka bermain mobil-mobilan di depan teras rumah. Apalagi jika ada Aryo, makin lupa waktu dia.

Kini, ia sudah besar. Dan beberapa waktu lalu, mamanya mencak-mencak sendiri karena baru tahu kalau anaknya tidak bisa mengaji. Kalaupun bisa, mengajinya tersendat-sendat, masih bingung huruf hijaiyah, dan belum mengerti ilmu tajwidnya.

Benar-benar memalukan. Cowok ganteng masa gak bisa ngaji? Apa kata akhirat?

Acara belajar mengaji Dikka ini baru ditekuninya selama seminggu belakangan. Kadang-kadang, ia minta diajari Ino, sahabatnya; yang pandai mengaji. Ino tak sungkan-sungkan untuk mengajarkan. Justru ia senang bisa membantu sahabat.

"Shilla temen Fika, itu Shilla yang lo maksud?" Aryo bertanya setelah senyap cukup lama menyelimuti mereka.

Dikka mengangguk dan mematikan ponselnya. Satu surah Al-Quran berhasil ia hafal, surah Ad-Duha. "Cocok 'kan?"

"Ngaca dulu. Shilla itu cewek baik-baik, sedangkan lo?"

"Eeeh-maksud lo gue cowok buruk gitu?"

"Gue gak bilang gitu. Lo sendiri yang nyadar."

Pemuda itu mendecakkan lidahnya sewot. Aryo meremehkan dia. "Lo sendiri? Emangnya udah baik buat Fika?"

"Gue lagi usaha. Fika bilang, 'Jodoh itu cerminan diri sendiri. Kalo lo mau jodoh lo baik, lo juga harus baik. Kalo belum baik, kita sama-sama memeperbaiki diri dulu.' Ajib bener 'kan?"

Sudut bibir kiri Dikka mendadak tertarik ke samping. Mantan pacar Aryo itu memang benar. Mau dapatin yang lebih baik? Sadar diri dulu. Sudah pantaskah?

"Fika juga bilang gini, 'Saat kita pacaran, kita belum tentu jodoh. Saat kita putus, kita belum tentu gak jodoh.' Kalimat yang kedua, yang bikin gue makin yakin sama dia. Putus bukan berarti gak jodoh. Ya, 'kan?"

"Iya sih." Dikka mengangguk.

"Jadi mantan juga bukan berarti musuhan. Kita bakal tetep jaga tali silaturahim. Malah niatnya bakal ke jenjang yang lebih serius lagi. Kawin."

Dikka menyela, "Nikah dulu, baru kawin!"

Aryo terbahak. "Bhahaha! Iya, iya!"

"Tapi lo mah, kayaknya 'Ah' dulu deh, baru 'Sah'." Dikka ikut tergelak. Dia langsung mendapat timpukan mantap di bahu oleh Aryo.

"Najis! Gak mungkinlah!"

"Mungkin aja."

"Udah tobat gue, Kka. Lo kapan?"

"Kapan-kapan."

"Elah, cepet tobat lo, kiamat semakin dekat."

"Ya kali makin jauh."

"Ck! Nih ya, dengerin gue baik-baik." Aryo menegakkan posisi duduknya. "Mulai sekarang, jangan sibuk mencari calon pendamping yang baik, cobalah untuk menjadi. Anti mainstream."

"Curhat lo?"

"Serah deh. Rese, lo!" Aryo mendengus kesal. Ya! Cara memulai perubahan terbesar dalam hidup adalah niat dari diri sendiri. Kamu memang bisa mengubah hidup seseorang untuk menjadi lebih baik, namun kalau orang itu sendiri tidak ada niatan untuk berubah, kamu bisa apa?

"Hahaha!" tawa Dikka sambil mengubah gaya berbaringnya di sofa. "Eh, gue nginep ya. Bonyok lagi gak ada di rumah," pungkas dia.

"Terserah," tukas Aryo ngeloyor pergi. Berniat berwudu dan salat karena adzan Isya di surau seberang sudah berkumandang.

Apa Kabar, Luka? (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang