Anak-anak berwajah polos yang harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya sendiri itu ditatapi Tina dengan perasaan miris. Ia mencoba tersenyum semanis mungkin kala menatap mereka yang sedang makan. Sebisa mungkin menahan getaran pilu di hati agar jangan sampai menangis.
Hidupnya sangat berkecukupan. Lain halnya dengan mereka. Mungkin mereka tak punya orangtua. Tak punya atap tetap untuk bernaung dari panasnya matahari yang membakar dan dinginnya hujan. Tak bisa sekolah. Jangankan sekolah, Tina yakin, mereka makan sehari tiga kali saja pasti susah.
Mereka, yang orang-orang bilang anak jalanan. Dengan pakaian yang terlihat lecek, kumuh, nan lusuh mencari penghidupan melalui petikan ukulele, mencuci mobil, memulung barang rongsokan, menjual cangcimen di lampu merah, dan pekerjaan lain yang dipandang sebelah mata. Sebagian orang yang tidak punya hati nurani mungkin menganggap mereka sebagai sampah kota.
Gadis itu mengusap setitik air mata yang tanpa disadari membasahi pipinya. Jika dibandingkan dengan mereka, hidupnya benar-benar jauh lebih beruntung. Ia hanya terlalu sering menatap ke atas, hingga tak menyadari bahwa di bawah ada mereka yang hidupnya tak selayak dia.
"Makannya yang banyak ya, biar kalian sehat dan kuat," seru Tina. Mencoba menyemangati mereka yang sedang makan nasi kotak. Lesehan di permadani hijau berupa rumput.
Ia melirik Dikka yang duduk tak jauh di sampingnya. "Makasih yah, Kka. Lo udah ngajak gue buat ikut acara sosial ini."
Kepala Dikka menoleh ke arahnya. Ia tersenyum, "Sama-sama. Selow aja."
Respons simpel Dikka barusan membuat Tina melayang. Pemuda itu memang sangat manis, baik pula. Yang dikatakan Ino waktu itu benar, jika sudah kenal Dikka lebih dalam, sikap Dikka enggak secuek dan sedingin yang ia pikirkan.
Sepengetahuan Tina, Dikka juga belum punya pacar, bahkan tidak pernah pacaran. Katanya sih, dia enggak mau mempermainkan hati seorang wanita. Benar-benar lelaki idaman. Sangat beruntung wanita yang bisa mendapatkan Dikka. Dan Tina masih berharap, kalau wanita yang sangat beruntung itu adalah dirinya.
Dikka kini menatap ke depan. Anak-anak itu makan dengan sangat lahap. Ia tersenyum senang kala menyaksikannya. Setidaknya, hanya hal sederhana ini yang bisa ia lakukan terhadap sesama.
"Kka, gue kagum deh, sama lo. Biarpun banyak banget tugas, mau ngadepin ujian, tapi lo masih sempet-sempetnya bikin acara kayak gini. Orang lain kalau ada waktu senggang, pasti lebih milih istirahat di rumah. Nenangin pikiran. Atau jalan-jalan ke mana buat refreshing." Gadis yang memakai bleezer warna biru itu secara terang-terangan mengungkapkan perasaannya.
"Gak usah kagum sama gue, Na."
"Yaaa, gak pa-pa 'kan? Lagian lo itu mengagumkan tau."
"Lo berlebihan. Gue enggak sebaik yang lo pikirin." Dikka menatap gadis itu sejenak, tatapnnya sulit Tina jabarkan.
"M ... maksudnya?" tanya Tina tergagap.
Ino tiba-tiba datang lalu duduk di samping Tina. "Hayooo! Berduaan aja, lo. Awas yang ketinganya setan," tegurnya yang ia rasa Dikka juga paham.
Dengan bibir mengerucut, Tina menatap Ino dengan tatapan kesal. "Ih, Ino. Datang-datang bikin rusuh. Iya, yang ketiganya setan. Dan setannya itu lo."
"Oh," timpal Ino dengan mulut membulat.
Tina memukul bahu pemuda itu pelan, "Ih, nyebelin deh!" rajuknya.
"No, Kalvin sama Aryo mana?" tanya Dikka. Tak peduli pada pertengkaran kecil mereka.
"Aryo sama Kalvin lagi main sama anak-anak yang udah pada makan. Eh, tadi ada Fika juga lho. Dia baru datang," jawab Ino seraya memberitahu.
Dikka menegakkan tubuhnya. Menatap Ino yang terhalang oleh Tina. "Shilla ikut gak?" tanyanya penuh semangat.
"Enggak, dia datang sama Ita kayaknya."
Jawaban Ino membuat Dikka sedikit kecewa. Pemuda itu bangkit, lalu pamit. "Oh, ya udah. Gue ke sana dulu."
"Yah, Dikka pergi," saut Tina dengan nada tak rela. Dia menatap pujaan hatinya yang telah berlalu dari sisinya.
Ada satu hal yang ia baru sadari.
"Eh, Shilla itu siapa? Dikka kok, kayak kecewa gitu pas lo bilang 'enggak'?" Tina bertanya serius. Hatinya tiba-tiba berdesir tegang. Yang ia tahu, Dikka tidak terlalu dekat dengan gadis lain selain dirinya. Para penggemarnya di kampus yang kebanyakan cewek juga tidak ada yang dekat dengannya.
"Cewek kelas tiga SMA."
"Siapanya Dikka?"
"Lo cemburu?" tanya Ino. Nadanya terdengar lebih tinggi dan tegas.
Gadis itu malah menyernyit, "Lo kenapa kayak sewot gitu, No?"
Ino mengalihkan pandangannya dari Tina. Ia menggelengkan kepala. "Enggak."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Kabar, Luka? (TAMAT)
SpiritualFollow dulu sebelum baca✔️ ⚠️Awas Baper!⚠️ *** Saat Shilla sedang berusaha menyembuhkan luka hatinya, mencoba melupakan bayang-bayang cinta pertama, dan belajar mengharap hanya pada-Nya, Dikka datang. Membawa udara segar yang menenangkan, memoles wa...