"Bismillah."
Seorang gadis berwajah ayu khas Asia memijakkan kakinya pada tangga bus sambil memegang pilar besi untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Gadis yang kerap disapa Shilla itu segera memilih tempat duduk paling strategis dan menyenangkan. Ia tersenyum manis saat melihat kursi kosong di barisan ke tiga samping jendela.
Ini adalah pertama kalinya Shilla naik bus untuk berangkat ke sekolah. Biasanya ia naik motor matic kesayangan atau diantarkan oleh sang sopir. Namun berhubung motornya tiba-tiba mogok dan sopirnya sedang pulang kampung, Shilla pun mau tak mau pergi ke sekolah dengan kendaraan besar ini.
Tatapan yang sedari tadi terkunci pada pemandangan di luar lewat kaca jendela sekarang mendadak beralih. Gadis berkerudung putih itu menolehkan kepalanya ke samping kiri. Menatap lekat sosok pemuda berpenampilan kurang rapi yang baru saja masuk.
Lelaki itu mengenakan kaos putih polos yang dipadukan dengan celana jeans hitam panjang, sepatunya jenis sneakers bertali. Rambutnya terlihat acak-acakan namun justru menambah kesan keren. Wajahnya juga ganteng, banget malah.
"Astaghfirullah, Shilla. Pagi-pagi udah zina mata aja," rutuk Shilla sambil menundukkan pandangannya ke bawah. Tidak sepantasnya ia menatap lawan jenis secara terus-menerus, tanpa berkedip pula.
Dan kini, duduk di dekat jendela serta kursi di sebelahnya kosong membuat Shilla sadar akan satu hal. Gadis kelas tiga SMA itu perlahan mendekap tas gendong yang berada di pangkuannya.
Oh, Allah. Hamba mohon, jangan biarkan dia duduk di samping hamba yang bukan mahramnya.
***
Dari pintu masuk bus, Dikka langsung melihat kursi kosong di samping seorang gadis berseragam putih abu-abu. Tanpa berpikir panjang, pemuda tampan itu langsung berjalan dan duduk di sana. Ia mengangkat kaki kanan dan menopangnya di kaki kiri.Mengeluarkan ponsel dari saku celana dan mulai mengabari sahabatnya kalau dia akan sedikit telat.
"Kenapa lo duduk di sini?"
Kening mulus Dikka mengernyit saat gadis yang berada di sebelahnya tiba-tiba bertanya. Ia melirik ke sekitar, semua penumpang sibuk dengan ponselnya masing-masing. Ah, ternyata gadis itu memang bertanya pada dirinya.
"Emang kenapa?" Dikka malah balik tanya, tanpa menoleh sedikit pun dan kembali mengoperasikan handphone.
"Tempat duduk yang lain masih banyak yang kosong, kenapa lo malah duduk di sini?"
"Pengen aja." Ia merasa kalau gadis berjilbab ini semakin menggeser dan memepetkan tubuhnya pada jendela—memberi jarak di antara mereka. Lengannya yang terbalut seragam OSIS panjang juga semakin erat memeluk tas sekolah. Lagi-lagi Dikka dibuat heran.
Apa tampang gue mirip jambret sampe dia kayak takut gitu?
"Maaf ya, tapi lebih baik lo pindah tempat duduk deh."
Dikka tersenyum asimetris mendengar penuturan cewek ini. "Lo aja."
"Gue yang pindah tempat duduk?"
"Hm."
Gadis itu, Shilla, mencoba tetap sabar saat menghadapi salah satu makhluk yang Allah ciptakan ini. "Ya gak bisa gitu dong."
"Dibisain."
Shilla berdecak. "Pokoknya lo yang harus pindah. Gue gak mau ya kalo lo nyentuh gue, sengaja ataupun enggak."
"Siapa juga yang mau nyentuh lo?"
Mata Shilla sontak membola mendengarnya. Dia tidak habis pikir dengan cowok yang namanya tidak diketahui dan sok sibuk dengan ponsel ini.
"Lo pindah gak?"
"Gak."
"Pindah!" titah Shilla mulai kesal.
"Gak."
"Ishhh, gue naik bus bayar tau!"
"Gue juga bayar." Dikka mengedikkan bahu enteng.
"Ya, Allah. Lo tinggal pindah tempat duduk, apa susahnya sih? Tuh! Di sana masih banyak yang kosong!"
"Males," saut Dikka menimpali ucapan ngegas Shilla. Ia terkekeh geli saat membaca pesan dari salah satu temannya.
Shilla hanya mendengkus kesal menyadari betapa menyebalkan dan songongnya cowok ini. Ia mengatur napas dengan menyertakan asma Allah di dalamnya. Tak ada hentinya Shilla beristighfar. Menahan diri sebisa mungkin agar tidak mengeluarkan umpatan kasar berisi nama penghuni di kebun binatang Ragunan.
Bus akhirnya berhenti. Beberapa penumpang turun dan digantikan oleh penumpang baru. Shilla menghela pelan saat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan pukul setengah tujuh. Masih ada satu tempat pemberhentian lagi baru ia sampai di sekolah. Dan sialnya, cowok itu masih tetap di samping dia, belum turun juga. Menyebalkan.
Detik selanjutnya, Shilla melihat seorang ibu hamil di pintu masuk bus. Beliau celingukan, sepertinya sedang mencari tempat duduk yang kosong. Namun sayangnya semua kursi sudah terisi. Shilla menggigit bibir bagian bawahnya, ia ingin membantu ibu yang perutnya besar itu.
Yang Dikka lakukan saat melihat si ibu adalah bangkit dari posisi duduk sambil memasukkan ponselnya ke saku celana. Dikka lantas menyuruh ibu hamil itu untuk duduk di tempat yang sesaat lalu ia singgahi. Beliau tampak senang hingga mengucapkan banyak terima kasih padanya.
Jadilah posisi Dikka berdiri saat bus melaju. Pemuda itu kembali menampilkan ekspresi datar seperti biasa. Sementara si ibu yang ditolongnya duduk dengan nyaman hingga raut wajahnya kelihatan sangat bahagia. Memang ya, tidak harus melakukan hal istimewa untuk membuat orang lain bahagia, menolong sekadar meringankan bebannya saja sudah cukup membuat dia bahagia walau dengan cara sederhana.
Demi Allah. Shilla yang diam-diam menyaksikan semuanya benar-benar tak menyangka dengan apa yang dilakukan pemuda asing itu. Memang tampak sederhana, namun sangat bermakna bagi Shilla. Ujung bibirnya bahkan tanpa sadar membentuk sebuah senyuman.
🐢🐢🐢
Assalamualaikum, hallo semua!
Ini adalah novel pertamaku.
Semoga suka yaaa
Please jangan jadi silent readers😭
Hargai aku dengan kasih vote, kritik & saran, terutama komen ya(:
KAMU SEDANG MEMBACA
Apa Kabar, Luka? (TAMAT)
SpiritualFollow dulu sebelum baca✔️ ⚠️Awas Baper!⚠️ *** Saat Shilla sedang berusaha menyembuhkan luka hatinya, mencoba melupakan bayang-bayang cinta pertama, dan belajar mengharap hanya pada-Nya, Dikka datang. Membawa udara segar yang menenangkan, memoles wa...