TUJUH BELAS

38.5K 1.4K 23
                                    

Setelah perbincangan kemarin dengan Devan, Eve akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama Devan. Devan memaksanya dengan alasan ia takut terjadi apa - apa dengan Eve. Dan akhirnya rumah Eve ditinggalkan oleh Bi Marie.

Eve menatap ruangan kerja Devan disana banyak sekali tumpukan - tumpukan buku - buku tebal. Ruangan itu seperti perpustakaan dan ada meja serta kursi besar di sisi dinding.

Ponselnya bergetar pertanda ada yang menghubunginya. Dilihatnya, ternyata nama Bi Marie terpampang dilayar ponselnya. Segera ia mengangkatnya.

"Haloo.. "

"Non... Bibi mau bilang. Kalau Tuan Erland tadi kesini. Dan nyariin non. Bibi bilang aja kalau non sedang ada dirumah teman."

Ia berfikir sejenak, untuk apa Erland mencarinya? Pria itu hilang entah kemana disaat Eve membutuhkannya. "Baiklah Bi nanti Eve yang menghubungi dia. " dan seketika panggilan itu terputus.

Ia menaru kembali ponselnya disaku kemejanya. Matanya tertuju pada tumpukan - tumpukan novel. Segera ia menghampirinya.

Banyak sekali novel - novel bertema romance. Apa semua ini milik Devan? Dan apa Devan suka sekali dengan novel - novel seperti ini? 

Ia mengambil satu novel yang sekiranya sangat menarik perhatiannya. Saat ia ingin menarik novel itu, tetapi sebuah kertas jatuh ke lantai dengan posisi tertutup.

Ia membungkukkan tubuhnya dan mengulurkan tangannya. Ia mengambil kertas itu. Sebuah suara memanggilnya. "Nyonya.. Maaf, anda sudah ditunggu diruang makan." ucap pelayan wanita yang diketahui namanya adalah Emma.

"Ya.. Baiklah aku akan segera kesana." ucapnya. Lalu menyelipkan kertas itu dinovel yang ia pegang. Lalu membawanya keruang makan.

'''

Tiba diruang makan. Ia melihat Devan dan Max sudah duduk dikursinya masing - masing. "Kemarilah Eve... " ucap Devam yang menyadari kedatangan Eve. Lalu Devan menarik kursi dan mempersilahkan Eve untuk duduk.

"Eve.. Kau akan tinggal disini? " tanya Max dengan makanan yang masih berada didalam mulutnya.

Devan berdecak kesal. "Max, kau habiskan dulu makanan mu. "

"Aku hanya ingin tahu Daddy, kalau Eve tinggal disini, pasti aku akan bisa bermain dengannya setiap hari."

"Kau bisa bermain dengan Mommy mu. " ucap Devan. Eve sejenak berfikir siapa Ibu Max? Devan belum pernah menceritakan tentang Ibunya Max.

"Mommy selalu sibuk Daddy..." ucap Max dengan nada kekesalan.
"Sepertinya Daddy harus membuatkan teman bermain untukmu."

Max dan Eve terkejut,  apa maksud dari perkataan Devan? Teman bermani? Tentu Max sangat senang, ia kemudian menyunggingkan senyumannya. "Max mau Daddy... Dan nanti Max akan senang"

"Coba kau tanya Eve, dia mengizinkan atau tidak. Nanti Dady yang akan beraksi. " ucap Devan dengan suara pelan, tetapi Eve mendengar itu dan ia kemudian tersadar akan ucapan ingin membuatkan teman bermain untuk Max.

Langsung saja tatapannya menata Devan dengan tajam. "Devan... " ucapnya.

"Oke baiklah. Max sepertinya keinginanmu untuk mempunyai teman harus ditunda dahulu." ucap Devan kepada Max. Dan seketika Max memanyunkan wajahnya lalu kembali memakan makanannya.

'''

Eve melangkahkan kakinya disebuah lorong apartemen. Selesai makan siang tadi Erland manghubunginya dan meminta Eve untuk datang kepadanya.

Tentu ia harus mencari alasan untuk keluar dari rumah Devan. Dan ia beralasan untuk mengunjungi Bi Marie. 

Tak lama kemudian ia berdiri disebuah pintu yang tertera nomor 48 disana. Segera ia memencet bel, tak lama kemudian sesosok pria yang sudah lama tak ditemuinya berdiri didepannya dengan bertelanjang dada.

"Eve.. Kau baru datang? Ayo masuklah... " ucap Erland. Eve kemudian masuk kedalam apartement Erland. Baru dua kali ia memasuki apartement ini, saat itu hanya sekedar merawat Erland yang sakit. Jujur ia sangat tidak enak kalau hanya berdua didalam suatu ruangan.

"Duduklah Eve.. " Erland mempersilakan Eve untuk duduk disebuah sofa yang berwarna hijau tua.

"Aku ingin bicara denganmu.. " ucap Erland.

"Ya.. Aku juga." ucap Eve.

"Sebelumnya aku turut berduka cita atas kepergian Ayahmu. Eve.. Sebenarnya aku selalu pergi jauh karena aku adalah... Seorang pemimpin perusahaan."

Mendengar itu, Eve kaget ia tidak percaya apa yang diucapkan Erland. Sudah bertahun - tahun mereka bersama.

"Pada saat itu, Ayahku tidak punya pewaris lagi selain aku." ucap Erland.

"Perusahaan ku hampir bangkrut karena ada satu perusahaan yang bermain curang. Ia menguras habis hasil dari investasi yang dilakukan oleh para pembisnis. Aku sering pergi jauh karena ini Eve..."

Tampak Devan menghembuskan nafas dengan kasar. "Aku mohon padamu. Tinggalkanlan Devan. Dia tidak baik untukmu Eve. "

Mendengar itu, Eve tidak percaya. Dari mana Erland tahu tentang Devan? Bahkan sepertinya Erland tidak pernah memergoki dirinya sedang bersama Devan. "Dari mana kau tahu tentang Devan? " tanya Eve.

"Dia adalah orang yang paling licik Eve. Dan dia juga yang telah berhasil menghancurkan perusahaanku. " ucap Erland. Tidak! Eve tidak percaya itu. Devan adalah orang yang baik, ia sudah sangat mengenalnya.

"Tidak. Devan tidak mungkin melakukan itu. Dan aku kesini hanya untuk memutuskan hubungan kita. Aku rasa kita sudah tidak cocok lagi. Bahkan kau telah berbohong kepadaku tentang jati dirimu. Mana mungkin aku percaya begitu saja padamu. " ucap Eve lalu ia berdiri dari sofa. Ia ingin melangkahkan kakinya, tetapi sebuah tangan besar menariknya dengan kasar. Tampak Erland menggeretakan gigi nya.

"Kau harus menjadi milikku seutuhnya Eve." ucap Devan lalu membopong tubuh Eve untuk memasuki kamarnya.

Tiba dikamar, Erland membanting tubuh kecil Eve diatas ranjang. Lalu menindihnya dan melakukan sebuah ciuman kasar. Ciuman itu hanya menempel pada pipi Eve. Eve memberontak dibawah Devan dan sesekali ia berteriak. Adakah orang yang menyelamatkannya? 

"Tidak.. Lepaskan aku. Kau pria berengsek!!" bentak Eve tepat didepan wajah Erland. Mendengar itu, Erland semakin menjadi.

Tbc

Jangan lupa Vote, Koment,  dan Share ke teman-teman kalian ya... 

Follow juga IG aku : @yolan_dta

My Possessive Billionaire [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang