44. Punishment

20.3K 1.4K 184
                                    

Ngakak bacain komen di part sebelumnya ^^ pembaca cerita atha diharap sabar ya, ini ujian. Dan setelah aku berpikir dalam waktu lama, akhirnya ide itu masuk semua. Jadi aku akan usahain buat kebut ya biar kalian seneng :)

Happy reading and enjoy 💫

*

Sinar matahari yang masuk melalui celah-celah tirai yang menari lembut membuat Alana membuka matanya yang telah lama terpejam. Ia sedikit terkejut begitu melihat Jullian yang ternyata sudah bangun, dan sedari tadi menyentuh wajahnya tanpa henti. Mata pria itu sangat hangat, dalam, dan intens. Seperti bagaimana saat semalam mereka bercinta dengan penuh gairah dan ombak yang memabukkan. Alana mengurai senyumnya saat jari pria itu mulai memainkan rambutnya yang sedikit berantakan.

"Jam berapa sekarang ?" tanya Alana kemudian. Ia berusaha mengambil ponselnya yang berada di atas lemari. Jullian melirikkan matanya ke jam dinding di kamarnya "Tepat jam sepuluh."

"Apa ?!" suara pekikan kaget itu benar-benar membuat Jullian jadi terkejut "Ada apa ?" tanyanya langsung. Alana membeku, namun di detik berikutnya ia segera beranjak dari kasur dan memakai bajunya kembali. Ia mengerang kasar begitu melihat kaus mininya sobek tidak karuan karena permainannya semalam. Jullian ikut beranjak dari kasurnya. Seakan paham dengan yang terjadi, ia mengeluarkan sebuah kemeja putih yang cukup tebal lalu mengulurkannya pada Alana "Tidak akan ada yang mencurigaimu jika kau memakai ini." mendengar itu, Alana segera berpikir cepat pada kepalanya. Mungkin Jullian benar. Jika ia memakai baju pria itu yang benar-benar terlihat seperti model pria, semua orang pasti akan memandangnya curiga. Tangannya segera mengambil kemeja itu lalu memakainya "Aku harus pergi dengan Davin jam 9." ucapnya tergesa-gesa. Ia mengancingkan seluruh bajunya lalu memakai sepatu, kacamata hitam, dan meraih tasnya dengan cepat.

"Aku akan mengantarmu."

*

Sakin terburu-burunya, Alana nyaris terjatuh saat melompat turun dari atas mobil Jullian. Pria itu nampak melambaikan tangannya sebelum akhirnya pergi menjauh. Matanya membulat begitu melihat mobil Porsche hitam yang dikenalinya sudah terparkir rapi pada halamannya yang luas. Dengan sangat tergesa-gesa ia berlari melewati pekarangan rumahnya lalu membuka sepatunya asal dan melangkah masuk ke dalam rumah.

Kakinya langsung membeku begitu melihat sesosok pria dalam balutan kaus hitam polos yang ada di ruang tamunya dan kini telah menghujamkan tatapan tajam padanya, jarak mereka masih jauh namun Alana sudah bisa merasakan hawa dingin dan mencekam di sekitarnya. Ah, Alana merutuki kecerobohannya yang berlebihan. Ia yakin kalau Grezie sudah mengatakan pada Davin jika sejak sore kemarin ia menghabiskan waktunya bersama Jullian. Ditambah dengan pakaian yang ia gunakan sekarang, membuatnya makin yakin tidak ada kata aman dalam beberapa saat ke depan.

Pelan tapi pasti, Alana melangkah ke hadapan Davin lalu duduk di sofa. Davin yang melihatnya berusaha untuk tenang walau justru yang terlihat adalah wajah dingin dan kaku. Meski ia tak memungkiri tubuhnya menegang sejak awal ia datang kesini akibat kabar yang diberikan Grezie padanya. Wanita di hadapannya itu seperti tidak berani memandang wajahnya meski hanya beberapa menit, sampai akhirnya ia kembali berdiri "Aku akan buatkan kopi untukmu." ucapnya lalu dengan cepat melangkahkan kakinya pergi dari situ.

Sebuah gelas kaca bening segera diambil oleh Alana, ia mengisi gelas itu dengan air putih lalu meneguknya dengan cepat. Tidak, ia tidak lagi punya kekuatan untuk bertemu dengan Davin. Menatap matanya yang berkilat seolah menuding tentang apa yang sudah dilakukan dirinya habis-habisan, hanya memperparah rasa takutnya. Ia memejamkan matanya kesal sambil berpegangan pada tepi meja lalu mengumpat dan merutuki kecerobohannya sekali lagi.

RETURN | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang