17. Bidadari

744 75 1
                                    

Kina duduk dikursi perpus, dia menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Dia cukup tenang sekarang setelah melihat seorang Alevo. Gadis itu menyodorkan map dan lari sekencang-kencangnya. Tak peduli dia menabrak Erga cs. Mereka mengumpat tak jelas, tapi Kina terburu pergi. Pikirannya melayang berpikiran tidak-tidak, bagaimana jika Alevo kembali membuat masalah dengannya? Kina tak bisa membayangkan, apalagi abangnya jauh di Jakarta. Lantas siapa yang akan menjaganya?

"Woy, dicari malah disini!" Teriak Ardan menepuk pundak Kina.

"Eh? Ah... Hehe..." Kina berhasil menyembunyikan kagetnya.

"Jadi, gimana guru Kina? Hari ini pelajaran apa?"

"Itu, lo nggak baca chat gue?" Tanya Kina balik.

"Eh, lo chat gue? HP gue ketinggal di rumah, sorry nggak bales." Ardan memperlihatkan deretan giginya.

"Yahh, selop lo. Ya udah, kemarin gue udah beritahu lo cara pandang matematika baru. Kali ini gue mau lo nulis semua rumus kekertas. Apa aja yang lo tahu! Besok gue tunggu, oh... Ingat! Nggak boleh tanya sama simbah google. Big No! Cari dibuku atau apalah... Pokoknya lo usaha cari!"

"Semua rumus? Gila aja lo nyuruh gue, Kin!" Ardan memajukan bibirnya.

Gemas, Kina mencubit pipi Ardan yang mengembung. Gadis itu terkekeh melihat kelakuan Ardan yang cool menjadi anak kecil. Persis, seperti anak kecil yang dilarang makan permen dan hendak menangis.

"Kerjain aja, kan matematika mau ulangan nih. Itu juga buat persiapan lo. Percaya deh matematika lo bisa dapet 8. Kalo nggak percaya potong aja kupingnya Erga!" Kata Kian sambil menahan tawa.

"Huh, ya kali. Otak gue itu cuma pas-pasan. 6 aja gue syukur apalagi 8! Hah..." Ardan menyandarkan kepalanya ke meja.

"Makanya gue bantu lo, kalo sampai lo dapat 8. Gue mau lo joget di tengah lapangan pakai lagu korea!" Tantang Kina.

"Hah? Ya nggak mungkin juga gue dapat! Kalo gue nggak nyampe?"

"Gue bakalan pindah!" Ucap Kina yakin.

"Hah?"

"Gue bakal balik ke Jakarta lagi!"

👟👟👟

"Ini formulir olimpiadenya, saya yakin kamu bisa lolos. Ini cuma baru tingkat kabupaten/kota." Seorang guru menyerahkan selembar kertas pada Gio.

"Olimpiade apa, pak?" Tanya Gio menerima kertas tersebut.

"Matematika, kamu kan belum pernah coba olimpiade ini. Coba saja!" Pak Tomi menepuk pundak Gio.

"Hm, saya pikirkan dulu, pak. Saya juga butuh persetujuan orangtua saya." Ucap Gio sopan.

"Baik. Tapi, usahakan kamu ikut mewakili sekolah ini. Saya percaya kamu bisa!" Pak Tomi tersenyum dan pergi.

Gio menatap nanar formulir ditangannya. Ada rasa sesak didadanya memandang formulir pendaftaran olimpiade. Tangannya meremas kertas itu dan membuangnya ketempat sampah. Dia tak peduli akan sebuah perlombaan kepintaran. Apa gunanya jika hal tersebut tidak bisa membuat orangtuanya kembali? Untuk apa dia belajar keras? Hadiah perlombaan pun tiada artinya untuk seorang Gio. Hanya keras dan logam tanpa adanya maknanya.

Pemuda itu tersenyum miris dan kembali berjalan menuju kelasnya. Teman? Mereka yang dapat mengisi hatinya yang beku. Sangat beku sampai saat ini.

👟👟👟

Ardan memikirkan perkataan Kina di perpus. Pindah? Semudah itukah dia bicara pindah ke Jakarta kembali. Mana mungkin dia mendapat nilai 8, arght... Pikiran Ardan langsung blank. Satu-satunya membuat Kina tetap di sekolah adalah mendapat nilai 8 apapun caranya. Ya... Ulangan matematika dia harus meraih nilai 8, hatinya yakin. Tak ada cara lain, Kina bukan orang yang main-main. Gadis itu selalu menepati janjinya.

"Gue pastikan diri gue joget korea, Kin. Gue yakin itu!" Ardan meraih buku matematikanya dan mempelajari setiap inci angka.

Tekadnya bulat, dia tak mau Kina pergi begitu saja. Sudah 7 tahun, banyak kejadian yang mempersulit pertemanan mereka. Dan saat semua baru kembali, Kina yang pergi. Dia tak mau hal itu. Cukup 1 tahun dia menyimpan penyesalan karena amesianya. Tak mau lagi!

👟👟👟

"Lemes amat, neng." Dimas menyerahkan helm kepada Kina.

Kina tersenyum kecut dan naik ke jok belakang. Gadis itu lemas, kesal, lelah, yah... Semua rasa bercampur menjadi satu ditubuhnya. Hari ini dia tahu musuhnya satu sekolah dengannya. Bukan Erga cs! Melainkan kakak kelasnya, Alevo! Yah... Mereka musuh bebuyutan!

"Lo laper nggak?" Tanya Dimas.

"Laper, mau beli cimol. Beli, yuk." Ajak Kina sumringah.

"Iye, tancap!" Dimas mengegas motornya.

Mereka melaju membelah jalan yang cukup ramai. Jam-jam seperti ini adalah jam-jam pulang sekolah. Tentu saja jalan sangat ramai. Mereka berhenti dipinggir jalan depan pertokoan. Banyak pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai makanan. Mata Kina tertuju pada pedagang cimol.

"Dim, cimol! Itu... Ahhh... Cimol!" Kina bersemangat dan menarik-narik seragam Dimas.

"Lo kayak nggak pernah makan aja, sabar... Mana helmnya." Pinta Dimas.

"Nih, buruan..." Kina memberikan helmnya.

"Aduh, iya-iya."

Sulit jika harus berhadapan dengan Kina yang sudah tak sabar memakan cimol. Kina adalah pengemar nomor satu cimol. Gadis itu langsung memesan cimol beraneka rasa, rasa keju, coklat, bbq, chili, dan rasa lainnya.

"Banyak banget! Lo nggak takut gendut?" Tanya Dimas heran.

"Hah? Gendut? Gue suka kali biar orang tambah gemes sama gue. Kan banyak yang suka!" Kina tersenyum manis.

"Lo mah... Aneh!"

"Aneh? Aneh itu buat orang yang takut gendut, coba lo pikir buat apa lo nahan laper cuma buat tubuh lo langsing kayak model?" Tanya Kina.

"Gue kan laki!"

"Oke, buat apa lo nahan nggak makan apa yang lo suka cuma buat bikin otot kayak model atau buat perut lo sixpack?" Tanya Kina sekali lagi.

"Hm, ya buat cewek yang gue suka tertarik sama gue. Bukannya itu usaha?"

"Hehe... Kalo itu cuma buat cewek tertarik, salah lo! Gimana lo ditolak, galau... Nggak bisa tidur, nggak mau makan! Sama aja lo nyiksa diri lo! Menurut gue...

lebih baik nglakuin apa yang kita suka daripada harus menyiksa diri kita untuk sesuatu yang nggak pasti! Kalo narik cewek, jadi diri sendiri aja. Kalo ceweknya suka, berarti dia emang suka lo apa adanya bukan ada apanya. Bukannya itu juga usaha kita!" Kina mengambil pesanannya.

Dimas terpaku di tempat, dia kagum dengan cara pandang gadis disampingnya. Caranya bicara menandakan gadis itu berpikiran dewasa. Dia berbeda! Sangat berbeda dengan gadis diluaran. Mereka akan menolak mentah-mentah memakan benda berminyak. Diet? Takut jerawat? Kina cuek bebek tanpa memandang apakah makanan itu banyak minyaknya. Yang penting perutnya senang diapun senang. Kina merogoh saku bajunya dan hendak mengeluarkan uangnya.

"Nih, bang!" Dimas menyerahkan uang dan menarik tangan Kina menuju motornya yang terpakir.

"Apa sih lo? Gue mau bayar sendiri!" Ucap Kina kesal.

"Nggak usah... Hari ini gue baru dapet hidayah." Kata Dimas tersenyum.

"Hidayah, kapan? Tumben lo!"

"Baru aja bidadari ngasih hidayah sama gue!"

👟👟👟

Gas, bang!

Salam ThunderCalp!🙌

LOVE & PLANET ( END )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang