surrender

6.8K 410 20
                                        

Siang itu Maddy duduk di tengah-tengah kantin dengan Aletta, sahabatnya. Beberapa gadis yang melewati tempat mereka berada sekarang menatap malas. Pasalnya, status Maddy yang berpacarkan Goldie tidak bisa diterima sampai sekarang, membuat ia belum selesai mendapat tatapan remeh dari siapa saja.

"Goldie udah nggak turun selama dua hari. Gue khawatir," ucap Maddy sambil memainkan kukunya yang baru saja dicat warna hitam matte.

Aletta terlihat tidak peduli, tetapi demi menyenangkan hati temannya ia menjawab, "lo sendiri yang bilang dia sakit."

"Tapi masa sakit nggak ngehubungin selama gini? Dua hari Let. Bingung juga gue Goldie tuh beneran sayang apa nggak sama gue. Sakit apa coba sampai pegang hp aja nggak bisa."

"Ya, mana gue tahu. Positif thinking aja kali, Dy. Nggak selamanya bukti sayang seseorang harus dilihat dari seberapa lama dia ngehabisin waktu untuk atau sama kita. Jangan pendek-pendek banget otak lo."

Maddy mendecak kesal, sahabatnya bahkan tak memberi masukan yang ia mau. "Mau sampai kapan? Ulang tahun dia tiga hari lagi dan gue dia nggak ada ngabarin sama sekali. Gue takut dia keluar."

"Pendek emang otak lo."

"Aletta! Jangan bikin gue makin kesel! Gue butuh saran nih!"

Aletta menaruh hpnya di atas meja kemudian memutar mata. Sahabatnya itu begitu kekanakan. "Maddy, dengerin gue, tunggu aja sampai Goldie ngabarin. Nunggu tuh tenang nggak usah kaya orang kesetanan gini. Atau kalau lo emang nggak tahan kan bisa lo jenguk."

"Masalahnya gue nggak ada waktu!"

"Itu masalah lo berdua. Sama-sama kaya orang tolol yang nggak memprioritaskan pasangan masing-masing."

Mendengar telakkan dari Aletta membuat Maddy bungkam. Benar. Namun, nampaknya dia telah mendedikasi diri terlalu banyak di hubungan ini, sementara si laki-laki, seperti hantu yang mencintai hanya pada saat kelihatan.

"Temenin gue sore ini ke rumahnya, Ta."

Sepulang sekolah Maddy dan Aletta langsung menuju kediaman keluarga van Diest yang terbilang sangat mewah. Pekarangan rumah Goldie sangat luas dan ditumbuhi banyak tanaman yang dirawat oleh Diana, ibunya. Setelah satpam di rumah Goldie mengizinkan masuk Maddy dan Aletta-yang dengan gamblang berkata Maddy adalah pacar Goldie-kedua gadis itu melaju masuk dan berhenti di depan teras. Dengam berbekal sekeranjang buah segar dan wajah yang tak kalah segarnya, Maddy berjalan menuju pintu diikuti Aletta.

Ia memencet bel dan beberapa menit kemudian seorang perempuan muda dengan sanggulan rendah di rambutnya muncul di balik pintu yang terbuka. "Selamat sore, ada perlu apa non?" sapa mbak Rus—asisten rumah tangga—kepada mereka.

"Sore mbak. Boleh nggak saya masuk? Saya pacarnya Goldie. Saya mau jenguk." Ucap Maddy dengan sedikit angkuh, ciri khasnya yang entah sejak kapan dia miliki.

Meneliti gadis itu, mbak Rus menjawab jujur, "silakan masuk dulu non. Tapi, Goldienya lagi nggak ada di rumah."

"Ke dokter? Dokter mana?" Sahut Aletta.

"Saya nggak tahu, non, maaf."

Setelah itu kedua gadis itu pulang tanpa berhasil menemui Goldie yang tiba di rumah tiga puluh menit kemudian.

Di ruang tamu, mbak Rus sedang membersihkan meja begitu kedatangan Goldie menyadarkannya sesuatu. "Di," panggilnya.

Terhenti langkah lelaki itu sebentar begitu mbak Rus memanggilnya. "Kenapa mbak?"

"Tadi kamu dicariin sama pacar kamu."

Maddy.

"Terus mbak kasi tahu kalau aku nggak di rumah?"

Goldie vs GrettaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang