"Lo ngapain aja selama dua hari diskors, nyet?"
Goldie menatap galak kepada Reynand, "bapak lo monyet."
"Yeu, sensi amat."
Ares menimpali, "biasalah dia lagi galau karena sekarang sahabat Gretta udah kembali. Posisinya dia sebagai sahabat tiba-tibanya Gretta kan sekarang jadi terancam. Iya nggak, Die?"
Goldie mendengus sambil terus memotong kecil-kecil baksonya menggunakan garpu dan sendok. Ia mengakui dalam hati kalau apa yang dikatakan Ares adalah benar.
"Nggak usah sotoy lo berdua."
Jawaban singkatnya membuat Ares tertawa geli, Reynand yang juga paham akan situasi tersenyum penuh arti ke arah Goldie.
"Aduh kalau gue sih, yang kaya gitu mesti gerak cepat."
Ares yang paham akan kemana tujuan omongan Reynand mennambahkan, "iya gue juga sama."
"Gue kasi perumpamaan ya. Stoner kan raja Moto GP tuh, sementara sekarang yang jadi juara Marc Marquez kan? Untuk sementara yang naik ke podium Marquez terus kan? Nah gimana kalau misalnya Stoner kembali lagi, berusaha ngerebut podium dari Marquez? Gue sih udah seratus persen yakin Stoner bakal gampang dapetin podium alias ngalahin Marquez."
Goldie dan Ares hanya mendengarkan Reynand tanpa berkata apa-apa. "Karena, seorang legend beda sama seorang winner. Legenda selalu dikenang karena pernah menang, sementara pemenang hanya akan dielukan sampai dia turun dari podium. Pemenang cuma akan jadi bahasan dan prediksi-prediksi lanjutan. Beda sama legenda, legenda sudah menang tanpa harus berjuang."
Reynand menarik napasnya dalam-dalam. "Gila. Gue bijak banget."
Kedua sahabatnya hanya menatap Reynand takjub. Ada juga orang yang terkenal gila, bisa jadi bijak seperti Reynand sekarang. Biasanya hanya mengomel kenapa sambel di baksonya terlalu banyak, sekarang sia malah menasehati Goldie, layaknya bapak ke anak.
"Intinya lo paham maksud gue, Die. Lo jangan bohongin hati lo mulu. Dia itu legenda di hati Gretta, sedangkan lo, baru berusaha untuk jadi pemenang, sekali. Dia udah menangin hati Gretta berkali-kali, bro. Dan gue rasa lo perlu lebih banyak usaha."
Ares bertepuk tangan saat Reynand menutup pidatonya dengan mengatupkan tangan berterimakasih. Goldie hanya terdiam menerima baik-baik apa yang dikatan sahabatnya itu. Benar, akan sangat sulit baginya jika mau memenangkan Gretta dari seorang legenda seperti Ache. Ache sudah memenangkan hati Gretta duluan, dan kembali memenangkan hati itu, pasti bukanlah perkara yang sulit bagi Ache.
"Gue tahu gue harus ngapain." Satu kalimat itu membuat ketiganya tersenyum penuh makna.
💀
"Ke futsal aja lah biar bareng gue. Nggak bosan apa lo basket mulu?" Sungut Keegan kemudian mengunyah gado-gadonya.
Gretta mendecak, "kaya nggak tahu aja passion-nya Ache di basket kaya apa. Kapten tim basket mana bisa pindah hobi." Belanya.
Ache hanya tertawa kecil melihat kedua sahabatnya sibuk mencarikannya aktivitas di sekolah. Mereka bertiga sekarang sedang mengisi waktu istirahat di kantin, melahap gado-gado yang meripakan makanan kesukaan mereka sejak SMP.
Sejak adanya Ache, Gretta sudah tidak pernah kepikiran untuk menghabiskan waktunya di perpustakaan. Tidak lagi ia menenggelamkan dirinya di dalam fiksi-fiksi di sana. Untuk apa? Toh kebahagiaan Gretta lebih jelas dengan hadirnya Ache kembali.
"Gue nggak bisa ninggalin basket, Kee." Kata Ache.
"Bagus." Ucap Gretta.

KAMU SEDANG MEMBACA
Goldie vs Gretta
Teen FictionGoldie tentang Gretta "Gue gak paham itu anak, di antara semua cewek di sekolah, cuma dia yang benci gue sebegitu bencinya. Iya sih gue suka gangguin dia, dari dulu. Soalnya anaknya lucu kalau lagi ngamuk, kaya Harimau Betina. Tapi selucu apa pu...