Akhirnya next terus hehe.
Lagi kangen Tama
Lagi uas bukannya belajar malah next jhaha.Jangan lupa comment + vote gais.
Happy Reading.
***
Winda sedikit tertawa dalam hatinya. Tidak mungkin Tama seperti ini. Wajar saja, ia sedang sakit mungkin pikirannya pun ikut sakit. Sakit jiwa maksudnya. Bagaimana semua ciwi-ciwi tidak tergoda karenanya? Lihat bagaimana ia memainkannya secara mulus tanpa lecet sedikitpun.
Entahlah, pikiran negatif selalu menyelimuti otak Winda. Punya otak Win? Ketutupan lemak kan. Hehe.
"Gak usah serius-serius. Masih kecil."
Tama menjauhkan wajahnya kemudian terkekeh, "Tuh lo itu aneh. Kids jaman now aja maunya du seriusin, lo yang udah tua maunya di bercandain terus."
"YA KARENA LO ITU PLAYBOY GAK PERNAH SERIUS JADI NGAPAIN JUGA GUE PERCAYA SAMA LO. KARENA GUE BUKAN CEWEK PERTAMA DAN TERAKHIR KALI YANG LO GINIIN."
Oh tidak. Winda meringis. Apa yang ia ucapkan tadi sungguh di luar kendalinya. Ia sedikit kesal tentang tingkah Tama yang begitu aneh.
"Lo salah Win, lo emang bukan cewek pertama yang gue jadiin sasaran. Tapi lo cewek terakhir yang bikin gue stuck di lo terus. Gue tau, lo gak mau kan gue playboy? Lo takut gue ninggalin lo? Ngaku lo."
"Apaansi. Gue balik ah."
"Ah malesin masa balik. Lagi seru ngomongin perasaan kita berdua juga."
Lah. Bocah ngapa ya.
Tama menarik selimutnya dan berbalik badan. Menandakan dirinya sedang ngambek manja. Winda pun menggodanya tapi Tama tidak kunjung membuka matanya seakan-akan ia tertidur pulas.
Tapi.. tadi dia emang abis minum obat. Tapi yakali langsung tidur.
"Tama emang gitu, minum obat pasti langsung tidur." Celetuk sang Ibunda yang tiba-tiba melewati kamarnya. .
Oh gini rasanya ditinggal tidur.
"Yaudah gue balik, Get well soon kembarannya Cameron as pangeran gue. Ily."
*Ily (I love you), tapi Winda nyebutnya ili bukan i el ye. Apasih.*
Winda perlahan menutup pintu kamar Tama, "I love you too."
Winda ingin mati sekarang juga. Kenapa Tama masih mendengarnya, padahal suaranya begitu kecil hampir tidak terdengar.
Buru-buru Winda menutup pintu dan turun kebawah pamit dengan Bunda Tama. Sepanjang jalan menuju halte, pipi merahnya tidak kunjung hilang menahan malu.
"Lagian kenapa bisa sih gue nyebut tuh 3 huruf? Ah malu gue anjir, pas si Tama jawab mukanya ngeselin pengen gue tabok rasanya.iiiiiii." gerutunya disertai gerakan rusuh membuat beberapa pasang mata menatap ke arahnya aneh.
Tangannya meraih ponsel yang dirasakannya bergetar. Tertera nama Tama disana. Pipinya makin memerah. Tidak mau melihat apa isi pesannya atau menjawab panggilan dari Tama, Winda memilih untuk me-nonaktifkan ponselnya.
"Heh Lobster rebus, gue cariin taunya disini."
Ohmaygot.
Winda menutupi wajahnya dengan tasnya tidak terlalu besar. Sumpah ia malu. Winda masih punya malu koo.
Malu anjir rasanya pen pake helm, batinnya.
"Gak usah ngumpet Win, inget badan ah. Lo itu cuma bisa sembunyi di hati gue. Ayo ih gue anter balik."