Hayii.
Cerita ini makin absurd gajelas kek guwa:((Selamat membaca yaw~
***
"Mami ngapain sih ngizinin dia masuk ke kamar? Emang mami gak takut kalo dia apa-apain aku?" Tanya Winda sambil membantu maminya menyusun nampan yang berisi dua porsi untuk sarapan.
Mami tampak mengelap keringatnya yang mengalir sambil mengajak Winda duduk sebentar, "Pintu kamar juga tadi mama buka kok, tadi pas kamu masih tidur mami nguping hehe. Biasalah, mata-matain." Winda mendengus kesal melihat ekspresi mami yang tidak biasanya. Mami yang dulu bukan mami yang sekarang. Dulu ngelarang sekarang malah gak jelas. Maapin aku mi.
"Mami juga gak enak sama Tama, Win. Katanya tadi abis liburan, malah ngebatalin liburannya gara-gara kamu. Dia berangkat tadi malem, nyampe pagi. sekarang, kamu bawain nampan ke kamar sana sarapan berdua. Mami lagi ada pesenan."
Winda terdiam, kemudian mencium pipi maminya sekilas. Membawa nampan dengan malas. Dia pikir tadinya dua porsi hanya untuk dirinya, ah gara-gara kutil jadi gagal ngerakus kan.
Kasurnya yang sempat menjadi bahan kritikan sekarang menjadi pujian. Gak juga sih. Hehe. Tama yang merapihkan semuanya. Dengan kekuatan menahan bau iler milik Winda.
"Win? Masih marah sama gue?" Tanyanya menyusul Winda duduk di atas karpet samping kasurnya.
Tidak menatap sama sekali, Winda sibuk merapihkan piring untuk Tama dan untuk dirinya sendiri. Membaginya dengan rata. Dan saat satu suap--
"Gue gak mau makan kalo lo belum maafin gue."
"Iya." Singkatnya.
Satu suap--
"Tuh, lo belum maafin gue."
"Lo bisa gak sih biarin gue makan dulu?"
"Oke siap."
Winda mulai terbiasa dengan sikap Tama yang selalu menatapnya tanpa bosan. Awalnya selalu membuat Winda kesal karena merasa terganggu dengan sikapnya, lama kelamaan makin terbiasa. Seakan-akan Tama tidak melewatkan satu detikpun gerakan Winda saat makan. Meskipun tangan satunya sedang asyik dengan ponsel, Tama menahan dirinya untuk tidak kepo.
Ting. Suara dentingan mengakhiri sarapan Winda. Itu sebabnya Tama tidak masalah untuk menunggu Winda makan, karena tidak memerlukan waktu yang lama.
"Makan, nanti mami marah."
"Gak mau, lo masih marah."
Sambil menyandarkan tubuhnya di sisi kasur, Winda masih asik dengan ponselnya. Seakan-akan tidak menganggap Tama disini.
Krak.
Tama mengambil alih ponselnya dan menjauhkan dari Winda. Menangkup kedua pipi Winda dan diarahkannya ke wajahnya. Winda yang salting berusaha mencari satu titik pandang agar matanya tidak bertemu dengan Tama.
"Liat gue." Winda menggeleng.
"Ck." Tama mulai menangkup seluruh wajah Winda. Berusaha menutupi segala yang membuat Winda mengalihkan pandangannya.
"Lo mau tau kenapa gue gak suka ngeliat lo deket sama orang lain termasuk cowok? Karena disini, gue udah berusaha lebih buat dapetin perhatian lo, dan gue gak mau dengan gampangnya orang lain dapet perhatian dari lo juga."
Ekspresi Winda berubah, seakan-akan Tama tau apa yang Winda maksud.
"Oke, pasti lo mikirnya gue egois. Gue udah bilang, buang pikiran lo tentang gue yang playboy. Sekarang. Cuma lo doang yang tau gimana gue. Selama gue pacaran gonta-ganti cewek, gue gak pernah se-protektif ini ke cewek, kecuali lo. Apa yang lo gak suka dari gue, bilang. Gue gak mau lo nyembunyiin sesuatu dari gue. Lo cemburu? Bilang. Gue gak mau lo tersiksa sendirian. Mungkin lo nganggep ini terlalu serius karena kita masih bocah SMA. Iya gue tau. Tapi apa salahnya gue ngejaga seseorang buat masa depan gue nanti. Ngerti?" Lanjutnya.