Dua.***
"Dasar monyet."
Kalimat Intan tertahan di kerongkongan. Ia memandang skeptis laki-laki di depannya. "Hah? Lo bilang apa tadi?"
"Gue bilang, dasar monyet."
Intan lantas tercengang dan mendadak kehilangan suara. Matanya beradu dengan netra hitam milik Aldo. Seolah bertanding siapa yang lebih tahan lama tidak berkedip.
Dia ini temannya Cakra, 'kan? Yang paling tinggi itu? Yang anak bahasa? Yang selama ini tidak begitu dirinya kenal?
GILA, SONGONG BANGET!
"Mau turun atau mau di sini? Atau mau gue dorong biar pingsan beneran?"
"Galak banget, sih!" Intan cemberut, "gue, tuh, beneran takut tau!"
Aldo menaikkan sebelah alis. "Terus, kalo takut ngapain ke sini?"
"Gue—"
"Minggir!" potong Aldo, dia naik ke atas dahan lalu menginjakkan kaki ke tembok, dan tanpa menoleh lagi, dia melompat bebas dari tembok setinggi dua meter itu, meninggalkan Intan yang bengong melihatnya.
"Eh-eh, tolongin gue, sih! Gue nggak bisa turun makanya masih nyangkut di pohon!" Panik Intan saat melihat Aldo hendak pergi. "A-Aldo, please jangan—akh!"
Mendengar suara pekikkan, Aldo refleks menghentikan langkah dan menengok. Lalu menghembuskan napas kesal melihat Intan nampak ketakutan sambil memeluk dahan, sementara kakinya sudah di tembok. Persis seperti monyet.
"Gue bener-bener nggak bisa turun," rengek Intan lagi, menatap Aldo penuh pengharapan, "bantuin gue, please. Tolong cariin tangga atau enggak."
Aldo menimbang-nimbang. Haruskah menolongnya atau meninggalkannya. Tapi, jika meninggalkan, itu sama saja seperti dirinya tidak memiliki hati. Dan pada akhirnya, Aldo memilih opsi pertama meski tidak ikhlas.
Laki-laki itu berjalan ogah-ogahan mendekati tembok yang Intan gunakan sebagai pijakan, menumpukan kedua tangan di sana lalu menunduk. "Naik pundak gue. Di sini gak ada tangga. Cepet!"
Di atas, Intan nampak ragu. Masalahnya selain roknya pendek, jarak antara dirinya dan Aldo juga lumayan jauh. Kalau jatuh bagamana? Duh!
"Gue takut."
Aldo mendecak. "Udahlah, gue duluan!"
Intan melotot. "Eh, iya-iya, tunggu! Gak sabaran banget, sih!"
"Cepetan makanya! Keburu yang upacara beres, mau dihukum lo?" Celoteh Aldo tanpa menatap lawan bicara.
Mendengkus, Intan pun berbalik lalu perlahan menjulurkan kaki kirinya—sambil merapalkan doa—hingga menginjak pundak Aldo, kemudian disusul kaki kanan.
"Jangan ngintip lo!" ancam Intan. Di bawah, Aldo hanya mendesah malas tanpa menjawab.
Begitu dirasa aman, Intan mulai merasakan tubuh Aldo turun menjadi posisi jongkok, membuat Intan refleks memegang tembok, kuat-kuat. Setelah itu, Intan pun menginjakkan kakinya di tanah dengan senyum lebar.
"Yuhu! Akhirnya gue masuk sekolah!" hebohnya, lalu menoleh pada Aldo yang sudah berjalan menjauh. "Eh, bareng!"
Ketika sedikit lagi mereka jalan bersisian, Aldo mempercepat langkah, membuat Intan berhenti dan cemberut. "Padahal gue belum bilang makasih, udah kabur aja," gerutunya.
Intan menatap punggung itu dalam diam. Sifat cuek Aldo mengingatkannya pada seseorang. Siapa, ya?
Oh, ya. Alana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Holla, Hiper! (Complete)
Teen Fiction[Side's Story of Favorably] Terkadang, rasa cinta yang awalnya indah bisa berbalik menyerangmu. Dan Cinta yang kamu agung-agungkan, bisa memutar balik hidupmu dalam sekejab mata. Setiap manusia memiliki ekspektasi dalam cinta. Berharap terus begini...