r; pertaruhan

3.5K 305 7
                                    


Delapan Belas.


***


"Intan, kamu denger mama ngomong nggak?"

Si pemilik nama yang sedang mengoleskan roti dengan selai, lantas menoleh malas ke arah Mama di seberangnya. "Denger. Kuping aku dua-duanya masih berfungsi, kok."

"Kalo denger, harusnya kamu ngerti."

Plek! Bunyi pisau dan meja yang beradu menjadi tanda bahwa Intan kesal. Dia mendengkus. "Aku gak ngerasa kalo aku nggak sopan, Ma. Mama aja mungkin yang salah denger. Toh, Om Reza juga biasa aja, 'kan?"

Wanita berbaju merah muda itu pun balas mendengkus. "Mama denger jelas, Intan. Kuping mama juga masih fungsi kayak kamu," omelnya. "Kenapa kamu ngomong gitu sama Om Reza?"

"Gimana?"

"Dia nggak pantes jadi papa kamu."

"Kenyataannya, Ma," sela Intan, mulai marah. "Seandainya kalian mau nikah pun, aku nggak akan pernah nganggap dia papa!"

"Intan!"

Melihat mamanya yang marah, Intan terdiam, tapi tidak lama kemudian tertawa. Tawa miris yang kentara.

"Wah ... Mama nggak nyangkal omongan aku?" Intan bertanya mencemooh, "berarti bener kalian mau nikah?"

Mama Yuni diam, bibirnya hanya terbuka sedikit. Seolah benar-benar bingung untuk menjawab, dan hal itu berhasil menarik tawa Intan kembali.

"Jadi, alesan kalian ke Jogja itu karena mau berduaan, 'kan?"

"Intan! Mama beneran mau launching cabang toko di sana! Kamu juga 'kan udah liat foto-fotonya."

"Udahlah," Intan bangkit dari kursi, mengabaikan rotinya yang belum tersentuh. Wajahnya masam. "Aku berangkat. Gak usah dianter, aku bisa naik angkot."

Lalu dengan langkah berderap, Intan pun pergi tanpa cium tangan. Ia sudah terlanjur kesal. Paginya yang ceria harus hancur karena membahas orang itu.

"Intania, sarapan dulu! Intan! Mama belum sele—"

Suara sang mama teredam begitu Intan menutup pintu. Ia berlari dengan air muka cemberut, air mata hampir menetes jika saja ia tidak cepat-cepat menghapusnya.

Berkat kejadian hari ini, Intan jadi curiga jika semalam mamanya pulang cepat bukan karena dirinya, melainkan karena orang itu. Mungkin, kalau Intan tidak ngambek, mereka pasti sudah membahas hal lain.

Ah, Intan jadi suudzon 'kan.

Grek!

Setelah menutup gerbang, tanpa melihat kanan dan kiri, Intan mulai beranjak menjauhi rumahnya. Namun, baru dua langkah berjalan, ia sudah dikagetkan oleh benda antik berwarna kuning yang parkir tak jauh dari rumah, juga sosok yang menaiki benda antik tersebut.

"Lo ... ngapain di sini?"

Aldo bersedekap, menatap datar Intan. "Gue anter," katanya.

Berjalan mendekat, Intan balik memandang Aldo, lekat-lekat. "Lo masih pake baju biasa. Mau bolos lagi? Kenapa? Ini hari senin, Do."

"Ya, terus kenapa?" Aldo memasangkan helm miliknya pada Intan lantaran ia lupa membawa helm cadangan yang biasa dipakai gadis itu.

"Sabtu kemarin juga kayaknya lo bolos," jawab Intan, lalu menunjuk kepala Aldo. "Lo nggak pake helm," imbuhnya.

Aldo kemudian menyela motornya sebelum menjawab, "Sekolah. Cuma gue seharian di perpus."

"Ngapain?"

Holla, Hiper! (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang