Lima Puluh.
***Alana menatap pilu Intan yang sedang tertidur pulas di kamarnya. Semalam, sahabatnya itu tiba-tiba datang ke rumah sambil menangis dan wajahnya kacau luar biasa. Alana yang panik pun langsung menyuruh Intan masuk, lalu bertanya ada apa. Awalnya Intan tidak ingin bercerita dan hanya terus menangis, namun lama-kelamaan mulutnya terbuka. Ia menceritakan semuanya dari pertama hingga akhir.
Saat itu, Alana juga menangis, tidak menyangka jika kebahagiaan Intan akan berakhir secepat ini. Dan diam-diam, ia juga menyesal karena malah lepas tangan alih-alih membantu.
Maka itu, hari ini Alana berniat membiarkan Intan seperti itu saja, dan ia akan pergi ke rumah Tante Yuni karena sang mama pasti mengkhawatirkan anaknya yang semalam tidak pulang.
"Ke rumah Intan dulu, ya, Cak?" titah Alana ketika laki-laki itu sudah menjemputnya sekolah.
Terdengar bunyi kaca helm terbuka, Cakra memandang datar pacarnya. "Ngapain?"
Saat itu Alana tidak menyadarinya, bahwa nada bicara Cakra berubah seratus delapan puluh derajat.
"Intan nginep di sini, terus belum bilang. Jadi, niatnya gue yang mau bil—"
"Ngurusin amat."
Alana bungkam, mengerjap kaget pada reaksi Cakra tersebut. Namun, ketika ia mengingat cerita Intan, ia mulai paham kenapa laki-laki itu bersikap demikian.
Menghela napas, Alana lalu menaiki motor. "Terserah lo mau suka atau enggak, pokoknya anter gue ke rumah Intan dulu, atau jangan ngomong sama gue seharian ini."
Seperginya Alana dan Cakra, Intan perlahan membuka bola matanya yang sembab, memandang lurus pada langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Lalu, tanpa sadar ia memegang dadanya, menekannya pelan.
Kenapa ... masih terasa sakit? Apa ini bukan mimpi?
Tertatih, Intan bangkit untuk duduk, bersandar ke tembok di sampingnya. Tangannya merayap mencari ponsel, dan ketika ketemu, ia langsung menelepon ke nomer yang selalu ia hafal awalan serta akhirnya.
Tut ... Tut ... Tut ....
Intan akan terus menunggu, meski ini adalah usahanya yang ke seratus kali.
Pip!
Dan, meski ini adalah penolakan yang ke seratus kali.
Intan menghela napas. Tubuhnya terasa lemas sekali, bahkan duduk terlalu lama saja ia tidak sanggup. Akhirnya, Intan pun rebahan lagi, memejamkan mata, bersama doa, semoga saat ia bangun nanti, ini hanyalah mimpi.
***
Intan baru pulang ke rumah, malamnya. Alana yang mengantar. Gadis itu bilang, ia terlalu takut Intan kenapa-kenapa karena kondisinya. Intan memang tidak sakit secara fisik, tapi Alana mengerti, psikis yang lemah lebih mengerikan dibanding apa pun.
"Terus, lo pulang gimana?" tanya Intan setelah motornya sampai di depan gerbang.
"Santai, nanti gue minta Carka jemput," sahutnya seraya melepas helm, lalu ia berikan pada Intan, si pemilik.
Intan mengangguk pelan. "Ya udah, kalo gitu kabarin sekarang aja, gue tungguin—"
"Gak apa-apa, lo masuk aja dulu, baru gue telepon Cakra," sela Alana. Ia tidak mungkin mempertemukan keduanya di kondisi begini.
"Sekali lagi makasih, ya, Lan? Gue gak tau harus gimana kalo lo gak ada," ucap Intan, tersenyum tulus, meski ada gurat lelah di wajahnya.
Alana geleng kepala. "Jangan bilang makasih, justru gue yang harusnya bilang maaf ke lo, karena kemaren udah ninggalin lo gitu aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Holla, Hiper! (Complete)
Teen Fiction[Side's Story of Favorably] Terkadang, rasa cinta yang awalnya indah bisa berbalik menyerangmu. Dan Cinta yang kamu agung-agungkan, bisa memutar balik hidupmu dalam sekejab mata. Setiap manusia memiliki ekspektasi dalam cinta. Berharap terus begini...