Dua Puluh Enam.
***Ditemani terik matahari dan di bawah lindungan pohon beringin besar, Aldo bersama Intan saling terdiam di depan makam bernama Ivanka Talisha Alfandi. Mereka sudah di sini sejak sepuluh menit lalu, sudah berdoa, sudah juga menyabuti rumput di sekitar makam, namun, Aldo tidak kunjung bicara, dan Intan mengerti.
"Dia itu adik pertama gue, anaknya polos, lugu, penurut dan penyayang," mulai Aldo, seraya tersenyum dengan pandangan ke arah makam, seolah ia melihat sosok adiknya di sana. "Ika nggak pernah bikin masalah, dia juga gak pernah ngambek sama gue meskipun gue usilin, dan anehnya dari dia, dia cuma bakal nangis kalo liat sesuatu yang menurut dia menyedihkan. Pokoknya ... dia itu sempurna dalam segala hal."
Intan yang awalnya memandang Aldo pun ikut menatap makam, membayangi seorang Ivanka seperti yang laki-laki itu sebutkan.
"Gue juga ngerasa gitu pas liat fotonya. Dia ... baik."
"Tapi, ternyata, orang baik itu selalu pergi lebih dulu," sahut Aldo, membuat Intan terdiam.
Lalu, terdengar helaan napas berat dari Aldo. "Lo pernah bilang 'kan kalo keluarga gue itu lengkap dan baik-baik aja? Sebenernya, itu semua gak bener."
"..."
"Keluarga gue hancur. Sejak kematian Ivanka, atau bahkan sebelumnya."
Melihat Aldo yang nampak rapuh, Intan lantas berkata, "lo nggak perlu cerita, kok, kalo sekiranya itu rahasia."
"Gak apa-apa," Aldo menepuk sekilas kepala Intan. "Lagipula ini emang saatnya gue buang sampah sama lo."
Intan mengangguk paham meski sedikit ragu. Ia lalu menarik sebelah tangan Aldo yang bebas, bermaksud memberikan kekuatan. Dan Aldo tersenyum karena itu.
"Dua tahun lalu, papa gue selingkuh, dan kayak isteri kebanyakan, mama gue gak terima." Aldo mengusap matanya, begitu terluka. "Awalnya mereka cuma adu mulut kecil di kamar, tapi lama-kelamaan, mereka lupa diri dan lupa keberadaan anak-anaknya."
"Terus ... kenapa Ika bisa meninggal?"
Aldo tidak langsung menjawab, dia hanya diam sambil memandang Intan dengan sorot terluka. Membuat gadis tersebut ikut tenggelam dalam kesedihan itu.
"Ika itu sempurna, tapi ada satu hal yang kurang dari dia," Aldo menjeda, membuang napas, "dia gagap."
"Ga-gagap?"
Aldo mengangguk. Matanya mulai memerah. "Ya, gagap. Hal yang bagi orang lain lucu dan seringkali dijadiin bahan ledekan."
"..."
"Intan, sebelum masuk SMP, Ika itu orangnya ceria, berani, tapi semakin lama adik gue ngejalanin kehidupannya di sekolah itu, dia berubah. Ika gue jadi pendiem, Ika gue jadi penakut, Ika gue ... makin susah ngomong."
Tes!
Akhirnya, Aldo meneteskan air mata, untuk yang pertama kali, di hadapan Intan.
"Gue coba buat nyari tau ada apa, gue ke sekolahnya, nanya temen sekelasnya, tapi gak ada yang tau. Gue juga coba nanya ke Ika, dia cuma nangis. Berhari-hari gue coba bujuk dia buat ngomong, akhirnya dia luluh. Dan dia jujur tentang hal yang sama sekali gak gue duga," Tangan Aldo terkepal. "Dia bilang, selama ini dia dibuli. Selama satu tahun lamanya, dan gue nggak tau apa-apa sebagai kakaknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Holla, Hiper! (Complete)
Jugendliteratur[Side's Story of Favorably] Terkadang, rasa cinta yang awalnya indah bisa berbalik menyerangmu. Dan Cinta yang kamu agung-agungkan, bisa memutar balik hidupmu dalam sekejab mata. Setiap manusia memiliki ekspektasi dalam cinta. Berharap terus begini...