Lima.***
Alasan Aldo enggan mengenal cinta sejak dulu adalah, malas patah hati. Selain mampu membuat manusia tidak nafsu makan, patah hati juga bisa membuat manusia tidak waras dalam hitungan singkat, bahkan tanpa perlu berhitung dulu. Seperti yang Aldo lihat saat ini.
Seorang perempuan menangis di pinggir jalan, tepatnya di pinggir jembatan, tidak adakah yang lebih etis selain menangis di sini?
Aldo membuang permet karet dalam kunyahannya yang tidak lagi manis, lalu mendengkus. Matanya tidak lepas dari punggung gadis bersurai sepundak yang masih saja bergetar. Tapi, alih-alih, mendekati, Aldo memilih untuk memperhatikannya saja dari pinggir trotoar.
Sebenarnya Aldo tidak tau apa yang sesungguhnya sedang dirinya lakukan. Hanya saja, melihat orang yang tengah patah hati itu ... menyenangkan.
"Gue heran, apa sesakit itu sampe satu jam nangis, nggak sembuh-sembuh juga?" Aldo bermonolog sendiri seraya menatap jam tangannya kemudian beralih pada Intan lagi. "Gue balik, deh."
Brum!
Tepat ketika Chucky si Vespa berbunyi, Intan menoleh, seperti dugaan Aldo. Maka, laki-laki itu pun menyeringai pada Intan yang nampak syok dengan telunjuk mengacung ke arahnya.
"L-lo?"
"Dah." Aldo pun pergi menyatu bersama kendaraan yang lalu-lalang di jalan raya. Meninggalkan Intan yang terdiam kaku dengan asumsinya mengenai laki-laki bermotor kuning itu.
***
Tolong aku, Mas ...
Aku nggak mau di sini, mereka jahat.
Mama ... Papa ... Dista ... Mas Dodo ... tolong!
"Haah ... haah ... haah!"Dengan napas memburu, Aldo tersadar dari tidur singkatnya. Detak jantung menggila, seluruh tubuh basah oleh keringat dan ada setitik air di sudut matanya. Aldo pun mengubah posisi menjadi duduk, menyalakan lampu tidur lalu mengusap wajah, frustrasi.
Selalu begitu. Setiap kali ia mencoba tidur, teriakkan itu selalu muncul dalam mimpinya. Menakuti dan membuatnya semakin terjatuh pada penyesalan yang sama. Membuat kebencian pada dirinya semakin menjadi-jadi."Berengsek!" Umpatnya pelan.
Kemudian, Aldo bangkit dari kasurnya. Membuka jendela kamar dan meminum teh hijau yang sudah ia siapkan di meja televisi sejak sebelum laki-laki itu mencoba tidur. Karena ia tau, hal seperti ini, pasti akan terjadi.
Matanya memandang kosong pada langit malam yang berkilauan dihiasi bintang. Memaku tatapan pada satu-satunya bintang paling terang di sana.
"Andai kamu seterang bintang itu. Pasti nggak bakal begini, 'kan?"
Hembusan angin yang datang seolah menjawab pertanyaannya. Membuat Aldo refleks memejamkan mata.
"Mas tau kamu denger, Ka."
***
Dalam tiga jam ini, Intan menghitung bahwa ia sudah menguap sebanyak sepuluh kali saking bosannya. Sekolah hari ini benar-benar tidak ada yang menarik. Tidak ada pelajaran, tidak boleh keluar kelas, dan tidak ada Farel. Entahlah ke mana perginya dia sejak pagi, padahal laki-laki itu sekolah. Tasnya pun ada di meja. Di chat juga tidak dibalas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Holla, Hiper! (Complete)
Teen Fiction[Side's Story of Favorably] Terkadang, rasa cinta yang awalnya indah bisa berbalik menyerangmu. Dan Cinta yang kamu agung-agungkan, bisa memutar balik hidupmu dalam sekejab mata. Setiap manusia memiliki ekspektasi dalam cinta. Berharap terus begini...