w; ternyata berharga

3.3K 288 16
                                    

Dua Puluh Tiga.


***


"Lo serius?"

Farel yang sedang menyuci motor lantas menoleh pada Cakra yang tau-tau sudah berada di gerbang. Ia tersenyum, namun terselip kebingungan di sana.

"Serius apa?" tanya Farel, menghentikan kegiatannya. "Sini masuk. Motor lo mana? Jalan?"

Cakra jalan menghampiri, berdiri tegak di hadapan Farel. "Lo bener-bener pacaran sama Kanya?" tanyanya, mengabaikan pertanyaan kedua Farel.

Seraya tersenyum, Farel mengangguk. "Iya. Bukannya tadi kalian udah introgasi gue?" ia tertawa, melanjutkan kegiatannya yang hanya tinggal membasuh ban. "Sekarang, lagi?" imbuhnya.

"Rel, lo nggak suka Kanya."

"Suka," jawab Farel, masih memasang senyum. "Dia cantik."

Berdecak, Cakra menarik kaos belakang Farel agar mereka saling menghadap. "Gak usah senyum sok kuat. Gue tau alasan lo pacaran sama dia!"

Farel mendengkus geli. "Jangan mikir yang enggak-enggak," sahutnya lalu menepuk bahu Cakra. "Gue beneran suka Kanya, kok."

Cakra menarik rambutnya lalu memijat kening, frustrasi. Farel yang melihatnya hanya mampu terdiam. Senyumnya lenyap. Keadaan berubah tidak nyaman dan senyap, hanya terdengar air mengalir dari selang menyala yang masih dalam genggaman Farel.

"Kenapa harus kayak gini, Rel?" lirih Cakra, memandang sahabatnya yang kini menunduk dalam. "Lo nggak harus ngelakuin ini, 'kan?"

"Terus gue harus gimana?" Farel menelan pahit salivanya. "Jawab, Cak, gue harus gimana?"

Tersirat keputusasaan dalam bola mata Farel yang membuat Cakra tercenung diiringi rasa bersalah.

"Tapi, kenapa pake cara ini? Cara yang jelas-jelas nyakitin diri lo sendiri."

"Cara apa pun pasti nyakitin, Cak," Farel tersenyum miris. "Mau gue ngebiarin diri gue tetep sendiri atau belajar sayang sama orang lain, sakitnya tetep sama. Gue nggak bisa nyangkal kenyataan itu," ucapnya. "Lo cuma cukup doain gue, semoga gue berhasil lepas dari perasaan yang gak pada tempatnya ini."

Mendengarnya, Cakra semakin dan semakin merasa bersalah, namun seberapa keras ia mencoba mencari jalan, itu tetap tidak membantu. Alana adalah segalanya, begitu pula Farel.

"Sorry, gue bener-bener—"

"Selow," Farel meninju pelan bahu Cakra, tersenyum menenangkan. "Sekalipun Alana sama gue, gue nggak yakin dia bakal sebahagia waktu sama lo."

***

Tring!

        Dengan lesu, Intan mengambil ponselnya dari nakas. Sembari mengusap sisa air mata yang menjatuhi pipi. Benar, Intan memang secengeng dan selamah itu. Senyumnya lantas tersungging lirih ketika ia membaca kalimat-kalimat dari grup yang baru saja mengundangnya tersebut.

All Of JB's (51)

Arifat_Juna : si Kanya jadian sama Farel? weh, PJ dong

Holla, Hiper! (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang