Tiga Puluh.***
Permainan pun berakhir, dan sayangnya kemenangan gagal mereka dapatkan. Tidak masalah, karena cukup masuk akal, mengingat siapa yang mereka tantang. Namun, meski begitu, Aldo lumayan puas pada permainannya. Aldo pikir ia akan mempermalukan dirinya sendiri, ternyata tidak. Sedikit banyak, Aldo masih mengingat trik basket yang diajarkan Pak Rahman.Setelah membasuh wajah di pinggir lapangan dengan air dari botol, Aldo segera berjalan menghampiri Intan di pinggir tribun. Gadis itu nampak murung seorang diri, Alana sudah pergi entah ke mana.
"Hey!" sapanya ketika sudah berdiri di samping Intan. "Senyumnya, kok, gak ada?"
"Harus banget senyum sama lo?"
Aldo terkekeh, meraup wajah Intan, gemas.
"Btw, lo jago juga main basket, katanya gak bisa," ucap Intan, masih dengan air muka jutek.
Sebenarnya, Aldo sedikit penasaran pada perubahan Intan, ia ingin bertanya, namun rasanya bertanya pada perempuan yang sedang dalam mood jelek, bukan ide bagus.
"Gue gak pantes, ya, main basket?" lagi, Aldo mencoba basa-basi.
"Pantes aja."
Aldo mulai khawatir, diam-diam ia berpikir apakah ada yang salah dengan dirinya. Lalu, ia juga memperhatikan Intan yang enggan menatap matanya, setiap pandangan mereka bertemu, gadis itu pasti mengalihkan wajah. Lama-lama Aldo tidak tahan juga.
"Lo kenapa?" Aldo menarik dagu Intan, menyejajarkan wajah mereka. "Kalo gue bikin salah, bilang aja. Gue nggak ngerti kode-kodean soalnya," imbuhnya, tersenyum miring di akhir kalimat.
Intan terdiam, lalu tak lama menghela napas. "Lo taulah, cewek kadang suka bad mood gak jelas tanpa alasan yang jelas juga."
Sebelah alis Aldo terangkat, sebelum menjawab, ia menarik tangan Intan ke kursi tribun, agar lebih leluasa mengobrol. Laki-laki itu memiringkan tubuh, menghadap Intan. "Gak ada kalimat aneh macem itu. Setiap hal itu pasti ada alesannya. Kayak misalnya, rasa suka gua sama lo, alesannya adalah karena gue terbiasa di samping lo."
Kemudian, Aldo tersenyum kala melihat Intan tersenyum (jenis senyum malu-malu).
"Kayaknya, kata-kata lo sekarang itu gak ada yang gak mengandung gombalan, ya."
"Soalnya kalo gak digombalin, lo susah luluh."
"Yeee!"
Senyum Aldo makin lebar. Sebenarnya, ia tengah mengingat perkataan Panjul. Teman beda kelasnya itu bilang, untuk terus menggombali perempuan yang disuka, karena nyatanya, meski banyak perempuan yang bilang gombalan itu norak, terkadang, diam-diam mereka juga menantikannya hadir dari mulut laki-laki yang menyukainya.
Setelahnya, Aldo bungkam ketika tiba-tiba Intan memegang rambutnya yang masih basah.
"Lo ganteng kalo rambutnya berantakan gini."
Karena tidak ada balasan, Intan pun ikut terdiam sambil perlahan menurunkan tangannya, lalu berdeham, grogi oleh tatapan dalam Aldo.
"Permisi?"
Aldo lantas mengalihkan wajah, dan Intan dapat bernapas lega kembali. Kini, pandangannya ikut mengarah pada seseorang yang berdiri di hadapannya. Oh, atau dua orang.
"Ada apa, nih?" sapa Aldo pada dua orang perempuan yang ternyata adik kelas mereka. Badge memperjelas semuanya.
"itu ... Kakak namanya siapa?" tanya adik kelas yang berdiri paling dekat dengan Aldo, yang memakai bandana merah, sembari tersipu-sipu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Holla, Hiper! (Complete)
Teen Fiction[Side's Story of Favorably] Terkadang, rasa cinta yang awalnya indah bisa berbalik menyerangmu. Dan Cinta yang kamu agung-agungkan, bisa memutar balik hidupmu dalam sekejab mata. Setiap manusia memiliki ekspektasi dalam cinta. Berharap terus begini...