Dua Puluh Tujuh.
***
Empat hari telah berlalu, UN kelas dua belas pun berakhir, dan kini Intan kembali masuk sekolah dengan mood tak menentu. Tentu saja bukan tanpa alasan. Setelah pernyataan tidak terduga dari Aldo, ia benar-benar ingin sekali menyembunyikan diri dari laki-laki itu. Sebisa dan selama mungkin!Ah, mengingatnya membuat wajah Intan memanas lagi.
Laki-laki itu memang tidak menuntut apa pun, hanya sekedar itu, namun entah kenapa Intan bingung. Dirinya tidak pernah menyangka seorang Aldo akan menyukainya, bahkan juga menunaikan kata-katanya untuk berendam di kolam ikan, padahal—ah, sudahlah!
"Arrgghh!"
"Kenapa, Intan?"
Saking seriusnya memikirkan hal itu, Intan sampai lupa di mana dirinya berada dan dengan siapa ia sekarang.
Melengos, Intan menjawab, "bukan urusan Om."
Ya, benar, Intan sedang bersama Om SKSD itu. Yang seperti biasa akan mengantarnya sekolah padahal tidak perlu. Bersama orang ini malah membuat moodnya makin memburuk.
Terdengar kekehan kecil dari Si Om SKSD. "Kamu mirip mama kamu kalo lagi badmood."
"Iyalah, 'kan anaknya."
Meski Intan bersikap tidak sopan, anehnya Om Reza tetap tersenyum. Selalu, sesering apa pun Intan melakukannya.
Ini orang hatinya terbuat dari batu kali, ya? Batin Intan, kesal.
Lalu, karena kegundahannya tak kunjung hilang, Intan menyalakan radio di mobil tanpa izin, memutar kencang volumenya sambil sesekali melirik pria di sebelahnya yang nampak fokus menyetir, seolah tidak terganggu.
Lagi-lagi, Intan merasa jengkel. Kenapa dia tidak marah, sih? Padahal Intan sungguh berharap Om Reza membentaknya lalu nanti Intan akan mengadukan itu pada mamanya, dan mereka putus. Tidak jadi menikah.
"Om juga suka lagu ini," katanya ramah.
Gak nanya!
Intan menghempaskan tubuh ke kursi mobil, bersedekap. Matanya menatap tajam jalan raya di depannya.
"Kenapa Om suka Mama? Emang gak ada perempuan lain, ya?"
Sebelum menjawab, Om Reza lantas mengecilkan volume radionya, tersenyum lembut, "kenapa, ya? Om juga gak tau."
"Gak tau alasannya, kok, bisa suka," sahut judes Intan.
"Sebenernya mama kamu itu cinta pertama om waktu SMA, tapi meskipun begitu, kita gak pernah pacaran, karena mama kamu itu gila belajar, dulu. Sampe bilang kalo cinta-cintaan itu gak perlu." Om Reza tertawa di akhir kalimat.
Dan Intan, mendengarkan dengan seksama walau wajahnya tetap datar.
"Terus kenapa Om bisa suka Mama lagi? 'Kan udah bertahun-tahun," ujar Intan, lalu menyipitkan mata, "Om bukan alasan Mama sama Papa cerai, 'kan?" imbuhnya, curiga.
Dilihatnya, Om Reza tersenyum. "Om baru ketemu mama kamu lagi itu setahun belakangan ini, Intan. Om bahkan gak tau yang mana papa kamu."
"Emang Om ke mana selama ini?" Intan mulai tertarik pada percakapan. "Kalo emang cinta pertama, harusnya dikejar, dong!"
"Abis lulus SMA, om sekeluarga pindah ke Jogja, kuliah di sana. Tapi, biar begitu, bukan berarti om nyerah. Om cuma lagi berjuang supaya gak malu ngelamar mama kamu di depan orang tuanya," Om Reza menjeda. "Eh, pas dirasa om udah cukup bisa bertanggungjawab, ternyata om keduluan papa kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Holla, Hiper! (Complete)
Teen Fiction[Side's Story of Favorably] Terkadang, rasa cinta yang awalnya indah bisa berbalik menyerangmu. Dan Cinta yang kamu agung-agungkan, bisa memutar balik hidupmu dalam sekejab mata. Setiap manusia memiliki ekspektasi dalam cinta. Berharap terus begini...