Dua Puluh Delapan.
***Pagi hari setelah berpakaian lengkap, Aldo keluar kamar, lalu secara cepat, namun hati-hati, ia berlari menuruni tangga, hendak langsung pergi tanpa pamit, seperti biasa yang ia lakukan.
Tapi, entah itu alurnya atau keinginan Tuhan, mendadak Aldo haus, membuatnya terpaksa pergi ke dapur. Tempat yang mengharuskannya bertemu orang-orang yang masih ingin dihindari.
"Mas Dodo. Ayo, makan dulu."
Itu suara Dista, dan Aldo tidak mungkin mengabaikan peri kecilnya tersebut.
Dari depan dispenser, Aldo menjawab tanpa menoleh ke meja makan di belakangnya, "Mas masih kenyang. Kamu makan aja duluan."
"Emang Mas Dodo udah makan di mana?"
Baru Aldo ingin menyahut, suara Mama memotong, "Mas Dodo makan di sekolah, Sayang. Udah ayo, makanannya abisin, nanti kamu telat. Papa juga lagi buru-buru, tuh. Nanti diomelin sama Pak Bos kalau terlambat."
"Pak Bosnya Papa galak, ya?" sahut polos Dista, lalu tawa Papa terdengar.
"Galak kalau papa dateng terlambat, tapi kalau papa tepat waktu, pasti baik, dong."
"Kayak guru aku! Hihi."
Dada Aldo terasa sesak, entah kenapa. Bukan karena kehangatan ini menganggunya, tapi karena ingatannya lagi-lagi mengarah pada Ika. Biasanya, adik cantiknya itu ikut melengkapi hari, namun kini tidak lagi.
"Sekalipun emak-bapak lo punya salah, mereka tetep sayang sama lo, sama Dista juga. Mereka butuh kesempatan. Tapi, kalo lo aja nggak ngasih kesempatan kedua, gimana mereka mau buktiin kalo mereka udah berubah? Ayo dewasa dikit, Do. Buat kebaikan semuanya."
Duk!
Suara gelas yang beradu dengan galon membuat semua yang ada di meja makan lantas menoleh, memperhatikan Aldo. Lalu tidak lama, Aldo juga ikut berbalik badan.
"Tolong bungkusin sarapan saya," ucapnya setelah sepuluh detik berdebat dengan dirinya sendiri.
Terlihat, Papa terdiam kaku dan Mama yang melotot tidak percaya. Namun, hal itu tidak berlangsung lama, karena dengan gesit sekaligus bahagia, Mama segera berdiri dari kursi lalu membuat bekal untuk Aldo.
"Tunggu, ya! Nasinya mau banyak atau dikit?"
"Terserah," jawab Aldo tanpa menatap lawan bicara, "saya tunggu di teras. Mau pake sepatu."
Aldo tidak tau keputusannya ini benar atau salah, ia hanya ingin mencoba, seperti kata Intan.
"Val, ini bekalnya," ucap suara di belakangnya, tepat setelah Aldo selesai memakai sepatu.
Laki-laki itu lantas berdiri, berbalik menjulurkan tangan, menerima kotak makan dari sang mama. Lagi-lagi, tanpa menatap lawan bicara.
"Diabisin, ya, Val," pesan Mama, dengan nada bicara yang sama. Riang.
Aldo hanya berdeham seraya memasukkan bekal itu ke tas. Kemudian ia mulai melangkah menuju motornya.
"Hati-hati di jalan. Jangan ngebut."
Aldo tetap diam dengan perasaan kacau-balau. Ego dan hati sedang berperang dalam dirinya.
"Belajar yang bener-"
KAMU SEDANG MEMBACA
Holla, Hiper! (Complete)
Genç Kurgu[Side's Story of Favorably] Terkadang, rasa cinta yang awalnya indah bisa berbalik menyerangmu. Dan Cinta yang kamu agung-agungkan, bisa memutar balik hidupmu dalam sekejab mata. Setiap manusia memiliki ekspektasi dalam cinta. Berharap terus begini...