d; gerak-gerik mencurigakan

4.4K 340 6
                                    


Empat.

***

"Bukannya aku tak takut mati, hanya karena sering patah hati, yang aku takut, bila patah hati, engkau nekad lalu bunuh diri! Hobah!"

Alana meletakkan kasar bukunya pada meja lalu menoleh pada Intan yang asik bernyanyi dengan suara sumbangnya.

"Bisa berhenti nggak sebelum gue sumpel?" ancamnya, namun Intan tidak mendengar dan terus bernyanyi, malah bertambah keras. "Intan! KIta itu harus belajar, abis ini ada ulangan Matematika!"

Baru setelah itu, Intan berhenti, nyengir pada Alana. "Gue bete, Lan, belajar terus," keluhnya.

"Intan, kita ini dikit lagi mau UKK. Lo jangan ngegampangin belajar gitu, dong," gerundel Alana.

Intan menopang dagu, menatap Alana dengan mata menyipit. "Gue baru tau lo bisa bawel juga."

Ketika Alana hendak menyahut lagi, tiba-tiba suara lain menengahi. "Cewek."

Intan dan Alana pun menoleh ke sumber suara, mendapati Cakra serta Farel berdiri di samping meja mereka. Cakra dengan tatapan memujanya pada Alana dan Farel yang ... memandang penuh arti pada orang sama.

Melihatnya, Intan hanya bisa tersenyum kaku lalu menunduk dalam, pura-pura membaca buku meski pikirannya berlari ke sana-kemari.

"Kantin, yuk. Bareng sama anak-anak," ajak Cakra.

"Ayo, Tan, sama lo juga," dan Alana beralih mengajak Intan ikut serta. 

Intan kontan menunjuk dirinya sendiri. "Gue?" tanyanya linglung, kemudian mengibaskan kedua tangan sambil tertawa someng, "Nggak, deh, lo pada aja. Gue mau belajar."

Raut wajah Alana berubah masam. "Ya udah, kalo gitu gue—"

"Ayo, Intan. Lo sama gue."

Pandangan Intan berpindah pada Farel yang juga menatapnya dengan senyuman. Senyuman yang sampai sekarang, belum bisa Intan terka apa maksudnya.

Senyum itu berbeda. Bukan senyum ksgum, senyum tulus, senyum paksaan, bukan. Hanya senyum yang tidak sampai matanya.

"Ayo, Tan, lama lo," celetuk Cakra, tidak sabar. Membuat Intan mau tidak mau mengikuti.

Mereka pun berjalan berpasangan di sepanjang koridor. Alana bersama Cakra sedang bersenda-gurau di depan, sementara Intan dan Farel lebih banyak diam dengan masing-masing pikiran yang berbeda.

Merasa tidak nyaman, Intan lantas berdeham, hingga Farel mengalih perhatian padanya. "Kenapa?" tanya laki-laki tampan itu, masih diiringi senyuman yang sama.

"Lo mau beli apa di kantin?" Intan berbasa-basi.

"Em ... paling bakso, siomay atau nggak pempek. Lo?"

Intan mengetuk dagu. "Menurut lo gue harus beli apa?"

Terdengar, Farel terkekeh. "Ya, apa aja yang lo pengen. Kenapa nanya gue?"

Gantian, Intan tertawa malu. "'Kan biar ada obrolan gitu, biar nggak garing kayak krupuk."

"Dasar," sahut Farel seraya menepuk kilat puncak kepala Intan, hal yang sering dan kadang membuat gadis itu terbawa perasaan.

Holla, Hiper! (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang