nn; terjebak dua asmara

2.9K 269 27
                                    


Empat Puluh.


***

Cklek!


      Mendengar suara dan melihat Aldo akhirnya masuk rumah, Intan kontan berdiri dari sofa lalu berlari menghampiri laki-laki itu, memeluknya erat-erat.

"Mas Dodo ... maaf, tadi gak maksud ngebentak ...." lirih Intan.

Karena tak kunjung mendapat jawaban dan ia pun merasakan Aldo tak membalas pelukannya, akhirnya Intan melerai tubuh mereka, menatap sendu pacarnya yang juga menatapnya dalam diam.

"Marah, ya?"

Aldo menghela napas, mengusap sekilas pipi Intan. "Gak marah. Emang gue aja yang berlebihan kayaknya." Lalu, ia tersenyum. "Tapi, kenapa, ya, dada gue sesek banget rasanya?"

Bahu Intan merosot.

Ah, dia benar-benar telah menyakiti Aldo.

Melihat Intan yang menunduk dan mendadak lemas itu, Aldo akhirnya jadi tidak tega. Senyumnya surut. Sepertinya, ia memang harus menyingkirkan perasaan tidak menyenangkan itu demi mereka sendiri. Aldo pun memeluk Intan, lalu mengusap lembut rambutnya.

"Bercanda, Intan. Gue gak apa-apa, kok."

Merasakan pelukannya terbalas erat, Aldo juga melakukan hal yang sama, memperkuat pelukan mereka.

"Gue takut banget, Do. Serius."

"Jangan takut, berat. Biar aku aja."

Intan melepas pelukan mereka, menatap galak Aldo. "Gue serius tau!"

Laki-laki itu terkekeh. "Jangan serius-serius, nanti ujung-ujungnya gak enak," selorohnya. "Tadi, gue cuma cemburu buta aja, liat cewek gue dianter sama cowok terfamousnya Jaya Bangsa."

Plak! Intan memukul dada Aldo, cemberut. "Meskipun dia cowok paling famous di sekolah, tetep gak ada apa-apanya dibanding lo yang famous di hati gue."

Mati-matian Aldo menahan senyum, dan mati-matian juga dia menahan hasrat untuk tidak mencium Intan saking gemasnya. Cuma karena kata-kata itu saja, berhasil membuat gundah-gulananya hilang bagai debu tertiup angin.

Intan memang luar biasa. Sejak dulu.

Jadi, Aldo hanya bisa menyubit kedua pipi Intan saja, sebagai sarana lain. "Udah pinter gombal sekarang. Siapa yang ngajarin?"

"Gak usah sok pikun. Raja Gombalnya 'kan di depan gue sekarang," ledek Intan, membuat Aldo tertawa.

"Ngomong-ngomong, Tante Yuni mana?"

Intan menunjuk ke belakangnya dengan jempol. "Di dapur."

Aldo mengacak rambut Intan, sekilas. "Gue ke sana dulu, ya. Salim."


***

       Rasanya, tidak ada yang lebih menyakitkan dari cemburu tanpa hak. Dan, sepertinya, Farel sedang mengalaminya sekarang. Laki-laki itu mengusap wajah, frustrasi, lalu mengeluarkan kotak rokok beserta koreknya yang merupakan satu-satunya alat untuk melampiaskan segalanya.

Matanya memandang sayu ke arah langit, sembari membayangkan bagaimana indahnya senyum itu dahulu. Hingga akhirnya kegiatan tersebut terganggu oleh dering telepon di kantong celana.

Holla, Hiper! (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang