Empat Puluh Tiga.
***
"Maafin gue. Sekali ini aja."
Intan mengerjap, lalu menarik tubuhnya menjauh dari Farel sambil tertawa kaku, membiarkan tangan laki-laki itu menggantung di udara. Jantung Intan hampir terasa meledak karena sikap anehnya yang terlalu tiba-tiba.
"Ma-maaf kenapa, deh?" Intan berdeham, mengusap leher. "Yang harusnya minta maaf 'kan gue karena udah bikin lo kelilipan."
Farel menarik tangannya lagi, tersenyum kecut. "Iya, maksud gue maaf bikin lo panik."
Hening, Intan mulai berperang pada dirinya sendiri dengan pandangan ke arah lain. Ke mana saja, asal bukan pada laki-laki di depannya. Laki-laki yang Intan tau baru saja mengungkapkan sesuatu lewat kata maaf.
Intan tau, karena dirinya telah mempelajari Farel bukan sehari-dua hari, hingga mungkin bisa disebut, Intan sudah mengenalnya sampai ke akar.
"Kalo gitu, sisa tugasnya biar gue aja," Farel memulai perbicaraan lagi, memutus canggung. "Lo pulang aja gak apa-apa," lalu ia tersenyum. "Mau gue anter?"
"Gak usah, gue pulang sendiri aja, ngojek," tolak Intan. Ia tidak mau berada dalam suasana aneh lagi jika Farel mengantarnya.
Farel mengangguk, berdiri dari kursinya. "Ya udah, gue anter sampe depan. Sekalian gue pesenin ojolnya."
Ingatan itu masih menancap di kepala Intan, bahkan sampai ia susah tidur dibuatnya. Gadis itu merubah posisi yang tadinya rebahan menjadi duduk, melirik jam dinding yang telah menunjukkan angka dua belas lewat. Seharusnya ia sudah pulas sekarang, tapi Farel berhasil mengacaukannya.
"Dia minta maaf kenapa, sih, sebenernya?" Intan bermonolog, beralih menatap ponselnya yang sunyi.
Rasanya, ia ingin bercerita saja pada Aldo, tapi itu benar-benar tidak mungkin. hubungan mereka pasti akan menjadi taruhannya, dan Intan juga tidak mau membuat Aldo salah paham.
Lalu, sekarang harus bagaimana? Jujur saja, hal ini terlalu berat untuk ia pikirkan sendiri.
***
Pagi ini, hujan turun begitu deras mengguyur Jakarta. Membuat siapa saja yang ingin beraktivitas sedikit kehilangan semangatnya dan yang masih di kasur semakin merapatkan selimutnya. Tapi, tidak untuk sebagian siswa-siswi Jaya Bangsa. Mereka harus menaikan semangat dan melempar selimut untuk datang ke sekolah.
Atau, nilai taruhannya. Terutama untuk kelas dua belas.
Sembari berjalan lesu di koridor, Intan menguap, mendramatisir kantuknya bersama dinginnya udara. Harusnya ia masih tidur, tapi Bang Ilyas mengganggunya. Sungguh menyebalkan!
"Hey."
Intan refleks menoleh, senyum kakunya langsung tak dapat ia tahan begitu tau yang berjalan di sampingnya adalah Farel.
Laki-laki yang semalam ia pikirkan hingga insomnia.
"Hey, Rel."
"Mukanya bantal banget."
Mendengar komentar Farel itu, Intan kontan memegang wajahnya, melotot panik dengan ekspresi yang benar-benar lucu. "Masa'? Bohong, ya?!"
Farel tersenyum geli. "Iya, bohong."
"IH! KUPRET, YA, LO! Bikin panik aja!" amuk Intan sembari memukul kesal bahu keras Farel yang tertawa puas.
"Iya, maaf-maaf," Farel menarik tawanya kembali. "Abis masih pagi udah lemes aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Holla, Hiper! (Complete)
Roman pour Adolescents[Side's Story of Favorably] Terkadang, rasa cinta yang awalnya indah bisa berbalik menyerangmu. Dan Cinta yang kamu agung-agungkan, bisa memutar balik hidupmu dalam sekejab mata. Setiap manusia memiliki ekspektasi dalam cinta. Berharap terus begini...