i; jangan begini

3.8K 294 18
                                    


Sembilan.

***

"Siapa tadi, Do? Pacar, ya? Alhamdulillah akhirnya si Kupret nggak maho lagi!"

"Apaan, sih, Bang," Aldo menggerutu sembari mengelap oli di tangannya. Ia baru saja mengganti rantai motor pelanggan Bang Burhan. "Intan itu temennya pacar temen gue. Yang tadi niat nolong aja."

Bang Burhan tersenyum skeptis. "Alah, coba kata 'temen'nya diilangin, deh. Suka gue dengernya."

Kening Aldo mengerut, mengingat kembali apa yang dia katakan.

Intan itu temennya pacar temen gue. Kalo diilangin jadi, Intan itu pacar gue?

Seketika, Aldo mendengkus, membuat Bang Burhan tertawa geli. "Nggak apa-apa lagi! Si Intan-Intan itu cantik juga meskipun pendek. Cocoklah sama lo."

"Dia itu sukanya sama temen gue, Farel. Gue bukan level dia," sahut Aldo setelah menengguk sebotol air dan duduk di bangku, di samping si Abang berjenggot. "Lagian dia juga bukan tipe gue. Tipe gue itu yang kayak Dian Sastro. Lemah lembut. Nggak kayak dia, bawel, nyusahin, cengeng, lembek."

Mendengarnya, tawa Bang Burhan berderai. "Dian Sastro itu cuma lo liat di tv! Mana tau aslinya gimana. Tapi, Intan? Dia udah lo liat langsung, udah hafal sifatnya pula! Awas lho kemakan omongan sendiri!"

"Sorry, Bang, gue masih doyan nasi."

"Halah ... tokai, dah, lu!"

"Bang, gue balik, ya? Mau nganter si Dista sekolah, dia masuk jam sepuluh sekarang," ucap Aldo setelah dirasa lelahnya hilang. Berdiri seraya merenggangkan tubuh.

"Sesekali biar emak lo yang nganterlah, Do."

Kalimat yang keluar dari mulut Bang Burhan itu mengundang dentuman keras di dada Aldo, berserta air mukanya yang berubah drastis.

"Nggak ada istilah sekali atau dua kali, Bang."

Terdengar, Bang Burhan menghela napas. Pria itu ikut bangkit, berdiri berkacak pinggang di hadapan remaja keras kepala tersebut.

"Do, adek lo juga butuh ibunya. Dia masih kecil. Lo nggak seharusnya sering misahin mereka begitu. Ini udah berapa tahun?"

Sebelah tangan Aldo terkepal, dan Bang Burhan yang melihat itu langsung memukulnya, pelan. Lalu melanjutkan, "Sekalipun emak-bapak lo punya salah, mereka tetep sayang sama lo, sama Dista juga. Mereka butuh kesempatan. Tapi, kalo lo aja nggak ngasih kesempatan kedua, gimana mereka mau buktiin kalo mereka udah berubah? Ayo dewasa dikit, Do. Buat kebaikan semuanya."

Aldo meremas rambutnya, frustrasi. "Lo nggak ngerti, Bang! Lo nggak ada di posisi gue!"

Lagi, Bang Burhan menghela napas. Menasihati Aldo memang sedikit lebih susah dibanding anak-anak remaja lain yang dirinya asuh. Dia keras kepala. Juga kalau sudah meyakini sesuatu, maka selamanya itulah yang ia yakini. Bang Burhan hanya bisa berdoa dan berharap, semoga ada satu alasan untuk Aldo bisa meruntuhkan sedikit ego di hatinya.

"Okelah, Do, terserah lo."

Tanpa bicara apa pun, Aldo segera pergi dari bengkel tersebut dengan kegamangan dalam dada.

Holla, Hiper! (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang