Dua Puluh.***
Cakra Redino : ciat-ciat!
Cakra Redino : o-ow, kamu ketauan~ lagi pacaran~ sama si Intan~ si cewek idiot~ WKWKWKWKWK!
Cakra Redino : tenang.. Gausah keringetan gitu, rahasia lo aman sama gue! HAHAHAHAHAHAHAHAHAHMenghela napas, Aldo melempar asal ponselnya ke ranjang, lalu bersandar lesu pada kursi belajar yang ia duduki. Cakra memang idiot, dan ia tidak mau repot-repot membalas pesan-pesan tidak penting darinya.
Yang sekarang sedang Aldo pikirkan adalah, tentang hari ini. Tentang pertemuan tidak terduganya dengan mama Intan.
"Hah ... nyokapnya pasti gak suka sama gue," gumamnya seraya menggaruk rambut. "Lagian gue sok laki banget. Harusnya gue langsung kabur aja. Duh! Mana gue nyaris mati, tadi."
Sejenak, Aldo terdiam, termenung. Ia teringat pada setiap detail wajah khawatir Tante Yuni saat melihat Intan datang. Sejujurnya ... ekspresi itu mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang setiap hari dihindarinya.
"Lo tau nggak kalau setiap orang punya kadar kebahagiaan masing-masing?"
"Sekarang coba bayangin ketika lo harus dipaksa makan makanan tanpa rasa setiap hari. Lo sanggup?"
Lagi, Aldo menghela napas. Kata-kata itu terus berputar dalam kepalanya. Bagaimana mungkin ia bisa sebijak itu saat dirinya sendiri bahkan memiliki pemikiran yang jauh lebih buruk. Rasanya seperti tidak tahu malu. Aldo seakan menjelekkan diri sendiri dengan berkata begitu pada Intan.
Gadis itu bahkan sudah ikhlas dan menerima apa yang telah terjadi, namun kenapa dirinya tidak bisa?
Melepaskan kepergian Ivanka, terasa berat sekali. Apalagi itu terjadi karena kesalahan orang tuanya yang egois.
"Iya, mereka egois." Gigi Aldo bergemeletuk, bayangan akhir hidup naas adiknya mendadak datang. "Kasus gue sama cewek itu nggak sama. Mereka ... lebih buruk."
Ia menoleh ke arah bingkai yang berisi fotonya dan Ivanka yang sedang memakai atribut MOS sambil tersenyum bahagia. Matanya memerah dengan tangan terkepal.
"Sampai kapan pun, Mas nggak akan pernah ikhlas kamu pergi, Ka."
Kalimat itu berakhir, namun tidak untuk air mata seseorang yang sejak tadi berdiri di balik pintu. Hatinya seakan diremas hingga hancur saat mendengarnya.
***
"Mama masih marah?"
Tidak ada jawaban. Suasana ruang tamu seakan sunyi meski televisi menyala.
Intan mengambil napas dalam-dalam, memikirkan cara apa lagi untuk membuat sang mama bicara.
"Ma, aku janji gak bakal bolos lagi. Tadi aku cuma lagi kesel aja. M-maaf."
Akhirnya, bola mata Mama Yuni bergerak, walau hanya melirik sekilas. Beliau membuang napas. "Maafin mama juga karena bikin kamu tertekan. Mama juga gak bakal berhubungan lagi sama Om Reza kalo itu bikin kamu seneng."
Mendengarnya, Intan tercenung. Perasaan bersalah mulai melingkupi hatinya.
"Mama suka sama Om Reza?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Holla, Hiper! (Complete)
Teen Fiction[Side's Story of Favorably] Terkadang, rasa cinta yang awalnya indah bisa berbalik menyerangmu. Dan Cinta yang kamu agung-agungkan, bisa memutar balik hidupmu dalam sekejab mata. Setiap manusia memiliki ekspektasi dalam cinta. Berharap terus begini...