⏩ Aluna : Hadiah ⏪

2.4K 514 71
                                        

Tiga hari.

Hanya tersisa tiga hari lagi sebelum pernikahan Sekala resmi dilaksanakan.

Tiga hari lagi, dan masa penantianku selama bertahun-tahun akan berakhir sia-sia.

Karena beberapa hal menyangkut pernikahannya, Sekala tidak datang ke kantor. Dia mengambil cuti sehingga aku tidak bisa bertemu dengannya.

Dia masih sama, jantungnya masih terikat denganku. Jantung itu tidak mengijinkanku berhenti memikirkan Sekala. Jantungnya masih berharap kepadaku, sementara pemiliknya akan menikah dengan orang lain.

Lalu, aku harus bagaimana?

Haruskah aku mencintai suami orang lain?

Tiga hari sebelum pernikahan Sekala dan aku sudah bertekad untuk melupakannya. Entah apa yang akan terjadi dengannya jika aku pergi dari hidup Sekala, aku akan mencoba untuk tidak memikirkannya.

Aku menatap meja kerjaku. Buku catatan harian usang milik Sekala itu sekarang sedang berada di hadapanku. Berada di antara data-data yang harus aku input.

Melupakan Sekala artinya aku harus membuang jauh-jauh buku itu. Karena setiap melihatnya, aku ingin memiliki Sekala yang sebentar lagi akan menjadi suami orang lain.

Aku akan mengembalikan buku itu kepada pemiliknya. Aku akan memberikannya kepada Sekala. Secara langsung, aku tidak mau ada perantara meskipun itu Nadia.

Aku mengambil buku itu dan memasukkannya ke dalam tas. Aku berjalan keluar kantor kemudian mencari taksi untuk pergi ke rumah Sekala. Kebetulan ini adalah jam makan siang.

Rumah Sekala sangat besar. Orang tuanya yang sekarang pasti adalah orang kaya. Aku juga tidak mengerti bagaimana bisa ini terjadi. Kenapa putra mereka yang hilang mirip sekali dengan Sekala, nama mereka juga sama. Dari antara semua itu yang paling membuatku tidak mengerti adalah bagaimana nomor ponsel mereka bisa sama?

Aku menatap gerbang pintu kayu itu. Menghirup napasku dalam-dalam sebelum memberanikan diriku memencet bel. Tak lama kemudian pintu terbuka.

"Aluna?"

Aku tersenyum tipis, Sekala yang membuka pintunya.

"Ada apa kamu ke sini?" tanyanya. Pakaiannya tampak lebih santai. Kaos polos dan celana pendek.

"Aku mau kasih hadiah buat kamu," ucapku seraya mengeluarkan buku catatan usang itu dari tasku.

"Dalam rangka apaan nih? Saya enggak lagi ulang tahun," ucapnya heran.

"Kamu kan bentar lagi nikah," jawabku lalu memberikan buku itu kepada Sekala. "Nih."

"Apa ini? Kenapa kamu kasihnya sekarang? Pernikahan saya masih tiga hari lagi," tanyanya heran seraya menerima buku itu.

Aku hanya tersenyum tipis.

"Apa... kamu enggak akan datang?"

Aku menghirup napasku dalam. Mencoba meredakan rongga dadaku. "Maybe."

Sekala menatapku kecewa.

"Aku pamit dulu."

Tanpa menatapnya, aku berjalan keluar dari rumahnya. Jarak antara pintu utama rumah Sekala dengan gerbang rumah cukup jauh. Mungkin mereka biasanya mengendarai mobil dan turun tepat di depan pintu.

Aku meraih gerbang itu. Memutar tubuhku, hendak menatap rumah Sekala sejenak, tapi manusia itu tiba-tiba saja sudah berada di belakangku.

"Sekala? Kamu ngikutin aku atau mau pergi?"

Sekala tak menjawab. Dia justru mendekatkan wajahnya lalu menciumku. Tubuhku membeku, tanganku meremas gagang gerbang yang hendak kubuka tadi. Sekala... menciumku? Aku tidak bisa bernapas. Sejenak aku menikmatinya. Sebutir air mataku jatuh.

Dia kemudian menjauhkan wajahnya dan menatapku sendu. Kedua tangannya berada di bahuku. Aku tidak bisa bergerak sekarang. Tubuhku gemetar, jika tidak berpegangan pada gerbang itu mungkin aku sudah duduk di tanah sekarang.

Sekala kemudian meraihku ke dalam pelukkannya. Dia memelukku dengan erat dan aku masih tidak mengerti.

"Maaf, sudah membuat kamu menunggu terlalu lama, Aluna."

Apa yang dia katakan barusan? Apa dia mengingatku? Aku hendak mendorong tubuhnya tapi dia justru semakin mengeratkan pelukkannya.

"Jangan, Gayatri."

Gayatri? Sekala benar-benar ingat?

"Sekala--"

"Iya, saya Sekala. Sekala-mu."

Tangisku pecah seketika. Aku segera memeluknya dengan erat. Sekala mengingatku!

Dia Sekala-ku.

[.]

RindumuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang