Pagi itu, dia pergi ke Kencana Putra. Mengikuti kakak keenamnya, Gelar, dan juga saudari sepupunya, Kesuma. Sebenarnya dia tak punya kepentingan di sana, gadis berambut panjang sebahu itu hanya bosan berada di rumah.
"Gayatri."
Begitulah orang-orang memanggilnya. Gadis berusia lima belas tahun itu lalu memutar kepalanya ke arah sumber suara.
"Apa Mas?" jawabnya, rambut panjangnya itu tidak diikat. Dia membiarkan rambut hitam legam itu terurai begitu saja.
"Bawakan Mas air," pinta Gelar yang kini duduk di kursi seraya membuka bajunya. Dia sepertinya lelah setelah berlatih bermain pedang dan berkuda sejak tadi.
Gayatri mengangguk. Gadis itu berlari di sepanjang selasar menuju dapur. Mengambil sekendi air beserta gelasnya untuk diberikan kepada kakaknya itu.
Dengan nampan yang ada di tangannya, dia berjalan dengan tergesa-gesa untuk memberikan minuman itu kepada Gelar. Namun sayangnya, perjalanan Gayatri di Kencana Putra untuk yang pertama kali itu tak berjalan dengan lancar.
'Slush!'
'Pyarr!'
Bukan Kencana Putra namanya jika tak ada panah menyasar atau pedang yang terlempar. Bahkan kuda yang mengamuk dan mengacaukan segalanya. Terakhir kali, sebuah pedang menancap di perut Hermawan.
Kali ini, sebuah panah menyerempet lengan Gayatri dan menancap di salah satu pilar kayu. Tentu saja gadis itu syok dan segera menjatuhkan nampan yang ada di tangannya.
Mendengar suara gaduh itu, semua orang menjadi panik dan berlari mencari sumber suara. Bahu kanan Gayatri sudah bersimbah darah. Mengotori kebaya hijau barunya yang baru saja neneknya berikan. Bukan hanya mengotori, baju itu juga robek terkena panah.
"Gayatri? Kamu baik-baik saja?" tanya Gelar panik dan tentu saja jawabannya tidak.
Gayatri menggeleng seraya menangis dan merintih kesakitan.
"Apa ada yang terluka?"
Sebuah suara menyela. Membuat Gelar segera bangkit dan mengepalkan tangannya ke arah laki-laki yang baru saja datang itu.
"Bagaimana bisa kamu melukai adik saya?!" pekik Gelar tak terima Gayatri terluka.
"Maaf, itu tidak disengaja. Maaf saya lalai," ucap laki-laki itu seraya menunduk. Sekala namanya.
Cepat-cepat dia menyobek pakaiannya lalu mengikatkan kain itu pada lengan Gayatri yang terluka untuk menghentikan pendarahannya.
"Maaf? Bagaimana bila itu membunuhnya?!" Gelar membentak lagi. Suaranya semakin meninggi.
"Sudahlah. Lagipula panahnya tak menancap." Seseorang datang lagi di antara mereka dan berucap dengan nada yang lebih tenang. "Terakhir kali pedangmu juga menembus perut saya, Raden."
Mendengar ucapan Hermawan itu, sontak Gelar segera diam.
"Panahnya hanya menyerempet. Tidak akan membunuh. Sementara kamu? Saya mungkin tidak berdiri di sini lagi," tambah Hermawan lalu beralih menatap Sekala. "Bawa Gayatri ke bilik pengobatan."
"Maaf, saya terlalu emosi tadi," sahut Gelar seraya menundukkan kepalanya.
"Tak apa, saya juga akan melakukannya jika itu terjadi pada adik saya," ucap Hermawan seraya tersenyum tipis.
Gayatri kemudian dibawa ke bilik pengobatan dengan bantuan Sekala. Gadis itu terluka karena dia, tentu saja Sekala merasa dirinya yang harus bertanggung jawab. Sekala kemudian meletakkan Gayatri ke tempat tidur yang ada di sana.
"Maaf, tapi saya harus pergi," ucap Sekala sekaligus berpamitan. "Tabib akan datang mengobati kamu."
Gayatri mengangguk lemah.
Benar saja, tabib segera datang bersama Gelar sesaat setelah Sekala pergi dari hadapannya. Tabib itu segera membuka ikatan kain di lengan Gayatri dan hendak membuangnya, tapi gadis itu mencegahnya.
"Jangan, biar saya simpan," cegah Gayatri.
"Kain itu kotor, kenapa kamu simpan?" timpal Gelar heran.
Gayatri mengerutkan bibirnya seraya menatap Gelar. "Pokoknya saya mau simpan."
"Terserah." Gelar memutar bola matanya kesal. Adiknya itu baru saja terluka tapi dia justru lebih peduli pada sobekan kain yang berlumuran darah itu.
"Mas? Tadi itu namanya siapa?" tanya Gayatri yang air matanya mulai kering itu.
"Siapa? Yang tadi memanahmu itu?" Gelar balik bertanya.
Gayatri mengangguk.
"Namanya Sekala, adik Mas Hermawan," jawab Gelar.
Perlahan senyum mengembang di wajah gadis itu. Tangannya menggenggam erat jarik yang tadi laki-laki bernama Sekala itu berikan.
"Dia tampan," gumam Gayatri pelan.
[.]
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindumu
Kort verhaal[BOOK 2] Read HEARTBEAT first! "Jika kamu, Gayatri kedua-ku, Cataluna Renata, membaca catatan ini. Itu tandanya, aku, Sekala Ajinegara, sudah kembali ke dalam masa penantian panjang. Menanti Gayatri-ku yang lain lagi. Walau sesungguhnya aku tak mau...
