⏩ Aluna : Maaf ⏪

2.3K 448 20
                                    

Memang benar.

Terkadang kenyataan tak sesuai harapan. Hari ini rumah megah yang beberapa hari yang lalu ku kunjungi berubah menjadi serba hitam. Tak seorangpun tersenyum di sini, apalagi Sekala dan ibunya.

Mereka berdua duduk di sofa. Sekala berusaha menenangkan ibunya. Wanita tua itu bersandar di dada Sekala, masih menangis tersedu-sedu. Meratapi kepergian suaminya.

Aku hanya berdiri menatap mereka berdua. Bibir merah milik Sekala itu sesekali berucap menenangkan ibunya.

Aku menatap sekeliling. Mantan calon mertua Sekala, kedua orang tua Nadia beserta putrinya juga datang ke sini. Nadia duduk di samping wanita berambut sebahu yang mulai memutih itu. Dia mengenggam tangan wanita itu dengan erat, dan mereka bercakap-cakap sejenak.

Aku berjalan mendekat. Berusaha mendengar percakapan mereka.

"Papa udah bahagia di surga, Ma," ucap Sekala seraya mengukir senyum tipis di bibirnya. "Papa udah enggak sakit lagi sekarang."

Wanita itu meraih tangan Nadia dan Sekala, lalu menggenggamnya bersamaan. "Andai kamu sama Nadia menikah, Nak. Papa pasti lebih bahagia."

Wajah Sekala segera berubah menjadi datar, sementara Nadia tampak tersenyum tipis. Mereka berdua saling menatap sejenak, membuat ibu Sekala tersenyum tipis.

"Ma, Aluna juga ke sini."

Cepat-cepat Sekala menarik tangannya lalu berdiri mencariku. Dia tersenyum lalu menarikku mendekat. Aku mencium tangan ibu Sekala itu dan ia mengusap kepalaku dengan lembut.

"Makasih udah datang," ucap ibu Sekala.

Aku tersenyum tipis.

"Sekala, Mama mau istirahat," ucapnya sambil menatap Sekala.

Sekala mengangguk. "Ayo, Ma. Biar Sekala antar."

Sekala dan ibunya kemudian masuk ke dalam rumah. Menyisakan aku dan Nadia yang kini berdiri bersebelahan menatap mereka berdua.

"Lo tahu? Setiap Tante Sekar lihat lo, dia inget sama suaminya. Makanya dia minta masuk," ucap Nadia.

Aku hanya diam. Menatap sahabatku itu. Ah tunggu, apa masih layak dia kupanggil sahabat?

"Andai lo enggak datang ke hidup Sekala lagi, Lun," ucap Nadia tanpa menatapku. "Sekala enggak akan semenyesal ini dan ibunya enggak akan sekecewa ini."

"Gue enggak tahu kalo Papa-nya Sekala lagi sakit, Nad," sahutku.

Nadia memutar tubuhnya lalu tersenyum sinis. "Tapi setelah lo tahu pun, lo tetep enggak lepasin Sekala."

"Nad--"

"Andai, lo lepasin Sekala, dia pasti enggak akan merasa bersalah sama Om Rudi."

Bibirku kelu seketika. Aku tidak bisa menjawab apa yang Nadia ucapkan barusan. Rasanya dadaku terasa sesak. Apa ini memang salahku? Andai, andai dan andai. Nadia selalu menekanku dengan ucapannya itu.

"Aluna, kamu enggak apa-apa?" tanya Sekala yang baru saja kembali setelah mengantar ibunya masuk.

Aku menatap Sekala sendu. Entah kenapa rasanya aku ingin menangis. "Apa aku salah?"

"Apa?"

"Harusnya aku biarin kamu nikah sama Nadia dan kamu dan Mama kamu enggak akan semenyesal ini."

Aku menunduk. Air mataku jatuh. Tanganku mengepal di samping tubuh. Jujur saja aku merasa bersalah. Dengan sigap Sekala memelukku.

"Hssst, apa yang kamu bilang, Aluna?"

Sekala berusaha menenangkanku.

"Mama kamu pengen kamu nikah sama Nadia," ucapku lagi. "Tapi aku bikin semuanya kacau."

"Aluna, jangan bicara seperti itu."

"Andai, kamu enggak inget aku, kamu pasti menikah dengan Nadia dan enggak akan menyesal."

Sekala mengusap rambutku perlahan lalu mengecup puncak kepalaku.

"Jangan pikirkan, Nadia. Jangan terpengaruh sama dia."

Sekala merenggangkan pelukannya lalu menatapku teduh.

"Saya tidak pernah menyesal memilih kamu, Aluna."

[.]

RindumuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang