🌼 Gayatri : Datang dan Pergi🌼

1.8K 318 6
                                    

Suara deburan ombak yang menabral batu karang ini menjadi lagu pengantar kepergian Mas Gilang kali ini. Dia akan segera pergi ke Siam dan akan memakan waktu berbulan-bulan. Barang-barangnya sudah diangkut ke kapal, tinggal menunggu kapak itu siap berlayar.

Ini pertama kalinya aku datang ke dermaga. Aku memang pernah pergi ke pantai, ke rumah Sekala lebih tepatnya, tapi aku belum pernah pergi ke dermaga.

Ah, Sekala lagi.

"Apa kamu benar-benar tidak mau ikut?" tanya Mas Gilang sambil mengusap-usap tanganku dan menatapku sendu.

Aku tersenyum tipis. "Tidak baik jika tidak ada yang datang ke acara hajatan Mas Gelar."

Dia hanya tersenyum simpul sambil mengusap-usap rambutku pelan. Matanya menatapku lekat-lekat, rasanya dia seperti berat meninggalkanku. Aku juga merasa berat ditinggal olehnya.

Dia sudah seperti kakakku.

Kakak yang terlalu baik untuk seseorang seperti aku.

"Gilang, kapal ini sudah siap!"

Suara seruan itu membuat upacara perpisahan kami berakhir. Dia menatapku sendu, masih tidak mau pergi, tapi nyatanya dia harus pergi.

"Saya pergi dulu," pamitnya.

Aku mengangguk.

"Jaga dirimu baik-baik."

Aku tersenyum simpul. "Tentu."

Dia kemudian memelukku dengan erat. Sebelum akhirnya pergi menghampiri kapalnya dan masuk ke dalam sana. Tak berselang lama, kapal setinggi pohon kelapa itu akhirnya pergi dari dermaga. Aku hanya bisa menatap kapal besar yang perlahan menjadi kecil dan menghilang itu.

Aku menghela napas pelan. Setelah ini, tidak ada yang akan mendongeng tentang dinasti Cina dan para pangeran India. Aku memutar tubuhku, berjalan menuju kereta kuda yang menunggu di daratan.

Aku hanya menunduk, menatap kakiku yang melangkah di atas papan-papan kayu yang tersusun rapi ini. Entah bagaimana kayu-kayu ini bisa tahan dengan air yang terus menghujamnya.

"Gayatri?"

Sebuah suara yang berat nan dalam memanggil namaku. Membuat langkahku segera terhenti dan membuat kedua kakiku berjajar dengan sempurna. Aku masih menunduk sementara alisku sudah bertaut. Suara itu... ah, tidak. Jangan berhalusinasi, Gayatri. Tidak mungkin dia berada di sini.

"Gayatri, apa benar itu kamu?"

Suara itu terdengar lagi. Semakin keras dan jelas. Membuatku semakin tidak keruan. Kedua tanganku mengepal di samping tubuh dengan air mataku yang sudah mulai menggenang di pelupuk. Hingga sepasang kaki akhirnya berada tepat di depan kakiku dan membuat air mataku jatuh seketika.

"Gayatri, apa benar ini kamu?"

Dia mengulang pertanyaannya lagi. Kalimat yang sangat jelas. Suara yang sangat jernih. Aku menahan diriku agar tidak mendongak. Terlalu takut untuk hancur lagi jika orang lain yang ternyata berdiri di hadapanku.

"Gayatri? Saya Sekala."

Dia berucap lagi. Membuat kepalan tanganku semakin erat. Aku tidak bisa menahan diriku lagi. Dengan sisa harapan yang aku punya, aku memberanikan diriku mendongakan kepala dan menatap ke atas.

Aku terpaku. Membeku di tempat. Apa yang ada di depan mataku ini nyata? Atau dia hanya halusinasiku saja?

"Sadarlah, Gayatri! Sekala sudah pergi!"

Aku menampar wajahku berulang kali hingga akhirnya tangannya menahanku dan menarikku ke dalam pelukkannya. Membuatku menabrak dada bidangnya dan ia memelukku dengan erat.

"Saya Sekala, jadi berhenti menyakiti dirimu sendiri."

Tangisku segera pecah. Dia benar-benar nyata. Aku bisa merasakan degup jantungnya. Dia berdegup dengan begitu kencang. Wajahnya menirus, rambutnya menjadi lebih panjang. Matanya sayu, dan aku tidak bisa menahan diri untuk memeluknya.

"Kenapa kamu menghilang?! Kenapa kamu membuat saya kalut setiap hari?! Kenapa kamu tidak memberi kabar?! Kenapa kamu tidak datang setiap saya merindukanmu?! Kenapa?!"

Aku memukul dadanya itu berulang kali. Jika dia selamat, kenapa dia tidak memberi kabar? Kenapa dia tidak memberi tahuku? Kenapa dia begitu jahat? Sementara itu dia hanya diam, membiarkan tindakanku begitu saja.

"Setiap waktu saya menyangkal kamu pergi. Setiap hari saya berharap kamu akan kembali. Setiap malam saya menangis karena kamu, Sekala!" Pukulanku menjadi semakin lemah hingga akhirnya hanya meremas pakaian Sekala yang lusuh itu. "Jika kamu tidak bisa saya miliki, setidaknya biarkan saya melihat kamu baik-baik saja. Jangan buat jantung saya berhenti berdetak."

"Kenapa kamu begitu mencintai saya?"

Dari semua kata yang aku ucapkan, hanya itu balasannya. Dia mengeratkan pelukkannya lalu mengecup puncak kepalaku pelan.

Sekala-ku, baik-baik saja.

[.]

RindumuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang