🔥 Sekala : Kuda Hitam 🔥

2.3K 393 22
                                    

Gadis itu mengangguk. Aku yang dua minggu yang lalu menolaknya itu kini menawarkan tumpangan untuk pulang. Lucu sekali.

Jarik panjang yang ia kenakan membuatnya sedikit kerepotan. Begitupula denganku. Dia akhirnya duduk menyamping di atas pelana kuda hitam ini. Lalu aku naik dan memegang kedua tali untuk mengendalikan kuda. Kedua tanganku berada tepat di sisi tubuhnya dan dia hanya menunduk tanpa berkomentar

"Ayo!" ucapku seraya menarik tali ini. Membuat kuda hitam ini berlari dengan cukup kencang dalam sekali hentakan dan tangannya segera memeluk tubuhku. Sepertinya dia takut jatuh.

"Ekhem."

Aku berdeham. Pelukkannya membuatku merasa tidak nyaman. Apalagi ini di keramaian. Membuat pelukkannya melonggar dan dia hanya berpegangan pada sisi-sisi tubuhku.

"Maaf," desisnya, memang seharusnya begitu.

"Saya mengantar kamu karena saya kalah taruhan sama Mas Hermawan," jelasku tanpa ditanya. Aku tidak mau dia salah paham.

Kami melewati pasar dan rumah-rumah warga yang ramai. Aku sengaja, kami juga bisa melewati hutan yang sejuk. Namun beberapa hari yang lalu terjadi perampokan dan tidak aman membawa putri keraton melalui jalan itu. Tempat ini memang ramai, tapi efek sampingnya, di sini sangat panas.

Kuda hitam ini kemudian berjalan perlahan karena banyak orang yang lalu lalang. Perjalanan kami menjadi lebih lama.

Tak apa, aku menyukainya.

Bukan, bukan karena bersama Gayatri. Sudah lama aku tidak mengunjungi kota.

"Gayatri," panggilku.

"Ya?" jawabnya.

"Kenapa kamu pergi ke Kencana Putra? Bukannya itu hanya untuk latihan para pangeran dan prajurit?" tanyaku, kali ini aku menunduk menatapnya.

Dia hanya diam selama beberapa saat. Mata kami bertemu sebelum akhirnya dia kembali menunduk. "Saya ikut mbak Kesuma. Sekalian mau lihat kamu."

"Kamu tahu saya mau datang?"

"Firasat?" ucapnya ragu-ragu. Membuatku menatapnya dan entah kenapa aku tersenyum kecil. Firasat? Mas Hermawan atau Mbak Kesuma pasti sudah memberitahunya.

Dia menatapku sejenak lalu dia menunduk lagi. Menyembunyikan wajahnya lagi.

"Wajah kamu merah," ucapku.

"Panas," jawabnya pelan.

Aku menegakkan tubuhku. Bahuku ini cukup lebar untui menahan cahaya matahari. Membuat bayanganku jatuh tepat pada gadis itu sehingga dia tidak kepanasan lagi. Dia mendongak sedikit, menatapku samar-samar.

"Putri keraton enggak boleh kepanasan," jelasku tanpa diminta, tapi dia justru tersenyum dan wajahnya semakin memerah.

"Gayatri?"

"Ya?"

"Berarti kamu tadi ke sana bersama mbak Kesuma?"

Gayatri mengangguk.

"Kamu sudah bilang kalau akan saya antar pulang?"

"Euh... enggak," jawabnya. "Mas Hermawan nanti juga bilang."

"Nanti Mbak Kesuma nyariin," omelku. Aku menatapnya tajam, sementara dia hanya mengerucutkan bibirnya.

"Kalo saya pergi sama kamu, mbak Kesuma juga enggak apa-apa. Rama sama biyung pasti juga enggak apa-apa," ucapnya membela diri.

Aku memutar bola mataku malas lalu menghembuskan napas asal. "Ayo balik ke Kencana Putra."

Aku menarik tali itu. Membuat kuda ini berhenti. Lalu dia menarik bajuku, membuatku menunduk menatapnya.

"Kamu bilang mau antar saya pulang tadi." Dia mengerucutkan bibirnya, tampak kecewa.

"Tapi kalo--"

"Lain kali saya bilang ke Mbak Kesuma dulu," timpalnya segera seraya menarik bajuku dengan erat.

"Baiklah."

Aku menjalankan kuda hitamku lagi. Sedikit lebih cepat dan lagi-lagi dia segera memelukku dengan erat. Mungkin dia tidak terbiasa. Namun kali ini, dia tidak melonggarkan pelukkannya. Justru semakin erat. Dia menyembunyikan wajahnya di dadaku.

Aku juga tidak berdeham lagi. Biar saja dia memelukku, jangan sampai dia jatuh dari kuda ini nanti.

Dan, jangan sampai aku juga jatuh.

[.]

RindumuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang