🔥 Sekala : Gadis Berkepang Dua🔥

2.5K 413 29
                                    

Hidupku tenang.

Tak ada keluarga seorang gadis yang datang ke rumah. Aku tidak perlu berjalan-jalan di pantai. Gadis itu juga tidak kembali lagi kemari.

Ini sudah dua minggu.

Hari ini, aku pergi bersama Mas Hermawan ke kota. Keraton lebih tepatnya. Kakakku yang satu ini adalah salah seorang panglima tempur dan aku sering pergi bersamanya untuk melatih para pangeran.

Semenjak menikah dengan Raden Kesuma, Mas Hermawan tinggal di dalam keraton. Namun dia masih sering mengunjungiku dan mengajakku untuk ikut melatih para pangeran dan prajurit di sana.

Mungkin mereka pikir aku akan tertarik bergabung dengan pasukan kerajaan, namun sayangnya aku lebih tertarik menjelajahi laut luas dan pergi ke tempat baru. Seperti kakak keempatku, Adinata. Terakhir kali dia mengajakku pergi negara dengan kopi yang nikmat.

Butuh waktu berbulan-bulan untuk pergi dan kembali ke rumah. Lalu begitu aku tiba di rumah, ayah sudah menyiapkan banyak lamaran untuk dikirim ke rumah-rumah. Entah kenapa mereka begitu berambisi menikahkanku.

Aku duduk di atas seekor kuda hitam. Ini adalah hadiah ulang tahunku dari Mas Hermawan. Dia sibuk mengajari para lelaki kerajaan cara menggunakan pedang dan memanah dan aku di sini hanya mengamatinya saja.

Aku mengedarkan mataku ke segala penjuru. Beberapa bulan tidak berkunjung ke sini dan tak banyak yang berubah. Para abdi dalem dan para putri muda berjajar menatap ke arah kami. Sesekali mereka menjerit histeris dan tersenyum sambil menutup wajahnya.

Satu hal yang menarik perhatianku. Gadis berkepang dua dengan kebaya berwarna ungu. Entah kenapa dia tampak mencolok dibandingkan yang lain. Dahiku berkerut tipis, aku seperti pernah melihatnya tapi siapa.

Hingga akhirnya aku ingat.

Gusti Raden Ayu Ratna Arum Gayatri Hayudiningrat.

Pantas saja tidak asing. Tak berapa lama kemudian dia menatap ke arahku, tersenyum seraya melambaikan tangannya. Aku hanya menatapnya, datar. Kami tidak seakrab itu.

Aku kemudian berpindah tempat dan lebih dekat dengan Mas Hermawan. Hingga kemudian aku turun dan menghampiri kakakku itu.

"Sekala, gadis berkepang dua itu sejak tadi menatapmu terus," ucap Mas Hermawan seraya menatap ke arah Gayatri. Bibirnya menyunggingkan senyum, seolah menggodaku.

"Dia nglihatin Mas sama prajurit yang lain. Bukan saya," sahutku, lalu menatap ke objek yang sama dengan malas.

"Nah loh dia ke sini," ucapnya yang membuatku segera memicingkan mata. Benar, dia berjalan ke arah kami.

"Paling disuruh Mbak Kesuma bawain minum buat Mas," sahutku. Gayatri dan istri kakakku ini adalah kakak beradik. Sepupu lebih tepatnya.

"Ayo taruhan. Kalo dia ngasih minumannya ke kamu, kamu harus anter dia pulang ke Griya Laksmi." Mas Hermawan menatapku. "Tapi kalo dia ngasih ke Mas, nanti Mas kasih kopi dari Portugis. Kamu suka kopi 'kan? Atau kopi dari aceh? Gimana?"

Griya Laksmi adalah nama rumah dimana Raden Aji tinggal. Aku berdiam sejenak sambil menatap Gayatri yang berjalan bersama salah seorang abdi dalem. Aku menghembuskan napasku berat, ini jebakan. Kopi-kopi itu benar-benar menggiurkan. Apalagi kopi Portugis dan Aceh yang jarang didapatkan di sini.

"Hayo enggak berani kan?" ucap Mas Hermawan seraya tersenyum genit.

Aku menatapnya kesal. "Baiklah, saya setuju."

Mendengar ucapanku itu, Mas Hermawan tampak tersenyum puas. Seperti dia sudah merencanakan ini sebelumnya. Mencurigakan.

Dan, benar saja.

Gayatri memberikan minuman itu kepadaku. Dengan senyum lebar yang ada di wajahnya, dia menyodorkan gelas berisi air entah apa itu kepadaku. Bukan Mas Hermawan.

"Sekala, saya bawa teh ini untuk kamu. Kata rama, ini namanya teh hijau. Rama dapat dari pedagang Cina," jelas gadis itu seraya tersenyum lebar, tanpa malu-malu seperti waktu itu.

Aku menatap ke arah kakinya. Sudah sembuh ternyata. Ya, tentu saja. Dia bisa berjalan hingga ke sini artinya kakinya sudah sembuh.

"Minumlah, jarang-jarang Raden Aji mau membagikan teh hijaunya," celetuk Mas Hermawan.

Aku menatapnya sejenak. Dia mengedikkan dagunya, memberi isyarat padaku untuk meminum teh itu. Aku benar-benar ingin memukulnya hari ini.

Aku kemudian mengambil gelas keramik itu dari tangan Gayatri dan meminum air yang katanya teh hijau itu. Rasanya memang aneh. Tidak seperti air biasa.

"Jangan lupa taruhannya." Mas Hermawan menepuk pundakku. "Nadhira, ikut saya."

Mas Hermawan kemudian pergi meninggalkan aku dan Gayatri berdua. Dia membawa abdi dalem itu juga bersamanya.

"Gimana? Enak?"

Dia menatapku penuh harap.

"Kamu yang membuat?"

Gayatri mengangguk.

"Lumayan," jawabku singkat tapi dia tersenyum dengan lebar hingga gigi putihnya terlihat.

"Kalo gitu saya pergi dulu," pamitnya hendak pergi, tapi aku menahan tangannya.

"Gayatri, mau saya antar?"

"Huh?" Matanya justru membulat.

"Mau saya antar ke Griya Laksmi?"

Namun dia hanya diam dan menatapku.

[.]

RindumuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang