Aku melamun menatap hujan yang turun di luar sana dari kaca jendela cafe ini. Seminggu sebelum pernikahan Sekala diselengarakan dan aku masih belum bisa menerimanya.
Seluruh orang di kantor menerima undangan pernikahannya, termasuk satpam. Hanya aku yang tidak mendapatkannya. Mungkin Nadia tidak mengijinkannya. Dia mungkin merasa tersaingi dengan kehadiranku. Aku tersenyum sinis lalu meneguk caramel frappucino yang tinggal setengah itu.
"Kamu di sini ternyata."
Seorang pria dengan pakaian rapi lengkap dengan jasnya dan secangkir espresso duduk di hadapanku. Aku hanya tersenyum tipis. Tepat sebulan yang lalu, di tempat ini, meja ini dan menu yang sama, aku bertemu Sekala untuk kedua kalinya.
"Tumben Bapak ke sini," celetukku. Semenjak ia mengumumkan pernikahannya, dia jarang datang ke cafe ini atau menemuiku.
"Ya, saya cuma rindu tempat ini dan kopi di sini," jawabnya sambil tersenyum hangat. "Rindu kamu juga mungkin."
Aku memejamkan mataku sejenak. Kenapa dia harus mengatakan hal itu? Kenapa? Sekala, kumohon jangan membuatku berharap lagi.
"Hahaha, ngelawak ya, Pak?" sahutku seraya tertawa garing.
Sekala menggeleng. "Sejak saya ngomong kalau saya mau nikah sama Nadia, kamu jadi sedikit menjauh."
Situ juga ngejauh, sahutku kesal dalam hati.
"Tiga minggu yang lalu, sejak saya ngomong itu, penyakit jantung saya kambuh. Saya juga sering kontrol ke rumah sakit, makanya saya jarang ada di kantor juga," jelas Sekala panjang lebar. Rasanya aku ingin segera pergi dari tempat ini. "Sejak kamu menjauh, entah kenapa saya rasa penyakit jantung saya semakin parah."
Aku menatapnya. Sekala dulu pernah bilang, jika aku mulai berhenti untuk setidaknya memikirkan tentang dirinya, maka jantungnya akan membeku secara perlahan dan itu cukup menyakitkan katanya.
"Okay, emang kedengarannya konyol dan enggak ada hubungannya antara penyakit jantung sama kamu yang ngejauh." Sekala menatapku. "Tapi emang gitu, saya juga pernah bilang ke kamu tentang kamu dan jantung saya di cafe ini waktu itu."
"Then you hugged me," desisku pelan tanpa sadar.
"Yes, I did." Sekala tersenyum lalu mengangguk. "Dan entah kenapa jantung saya rasanya membaik. Ya, okay, saya enggak tahu jantung saya membaik atau enggak tanpa dokter tapi hari berikutnya saya enggak minum obat dan saya baik-baik saja."
"Berhenti bersikap seperti ini ke saya, Pak." Aku menatapnya dingin. "Calon istri anda bisa marah."
Senyum yang ada di wajah Sekala perlahan luntur. Dia kemudian menatap dengan tatapan yang sama, dingin.
"Gideon itu bukan teman kamu 'kan?"
"Nadia yang ngomong?"
"He's your boyfriend, right?" ucap Sekala lagi, mengabaikan pertanyaanku.
"Emang ada urusannya sama kamu?" Aku balik bertanya tanpa menjawab pertanyaannya. Aku tidak ingin menjawabnya. Lebih tepatnya, aku ingin melihat reaksi Sekala.
"Ada," jawabnya.
"Apa?"
"Kalau dia pacar kamu, kamu harusnya mencintainya. Lalu... kenapa kamu menangis saat saya bilang saya akan menikah dengan Nadia?" ucapnya seraya menatapku sendu. Membuatku hanya bungkam dan tidak bisa menatap matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindumu
Kısa Hikaye[BOOK 2] Read HEARTBEAT first! "Jika kamu, Gayatri kedua-ku, Cataluna Renata, membaca catatan ini. Itu tandanya, aku, Sekala Ajinegara, sudah kembali ke dalam masa penantian panjang. Menanti Gayatri-ku yang lain lagi. Walau sesungguhnya aku tak mau...
