⏩ Aluna : Canggung ⏪

2.6K 468 49
                                        

Ini sudah hampir malam, tapi Sekala tetap menahanku agar tidak pergi dari rumahnya. Ya, jujur saja tubuhku rasanya lengket. Ingin mandi lalu tiduran sambil ngemil dan nonton drakor.

"Sekala, aku pengen pulang," ucapku seraya mengerutkan bibir. Sedikit merengek lebih tepatnya.

Sekala menggenggam tanganku erat sambil tersenyum. "Lima menit lagi okay?"

"Ken--"

"Sekala?"

Suara itu menggema di penjuru ruangan. Membuat diriku dan Sekala segera bangkit lalu bersiap menghadap siapa yang baru saja datang.

"Sekala, kamu--huh?"

Mata seorang wanita paruh baya itu segera membulat ketika melihat diriku, apalagi genggaman tangan Sekala. Wanita itu tidak sendiri, ada juga pria tua yang bersamanya serta satu orang lagi, Nadia.

"Ma, Pa, kenalin ini Aluna," ucap Sekala memperkenalkan diriku.

Aku hanya tersenyum kikuk. Kenapa bocah ini tidak bilang jika ingin aku menemui orang tuanya?

"Sekala..." desis Nadia seraya menatap genggaman tanganku dan Sekala.

"Lalu?" tanya wanita itu dengan nada sedikit dingin.

"Dia calon istri, Sekala, Ma," jawab Sekala yang membuat ketiga orang di sana segera membeku di tempat.

Nadia beralih menatapku. Matanya tampak marah sekaligus kecewa. Air matanya sudah ada di pelupuk, beberapa sudah jatuh membasahi pipinya. Tatapannya seperti dia akan memangsaku detik itu juga.

Aku merapatkan tubuhku ke arah Sekala. Mencari perlindungan, siapa tahu setelah ini ada sandal, sepatu, atau barang-barang lain yang melayang.

Jujur saja, di sini seolah aku yang salah. Seolah aku yang merebut Sekala. Ya, aku seperti pelakor.

"Apa maksud kamu?!"

Pria tua itu memekik dengan semua tenaga yang ia punya.

"Pa, waktu itu Sekala cuma bilang kalau Sekala akan menikah tiga minggu lagi," jelas Sekala. "Sekala enggak pernah bilang akan menikah sama Nadia."

Nadia mendadak limbung. Dia terjatuh di sofa dan itu membuat ibu Sekala menjadi semakin marah.

Ibu Sekala itu menatapku geram. "Siapa kamu? Kenapa kamu tiba-tiba datang ke hidup anak saya?"

"Ma, Aluna enggak tiba-tiba. Jauh sebelum Sekala kenal Nadia, Sekala udah kenal Aluna," Sekala membelaku.

"Tapi sekarang posisinya kamu akan menikah sama Nadia, nak." Wanita itu memijit keningnya pening. "Kalau kamu enggak mau nikah sama Nadia, kenapa baru ngomong sekarang?"

"Ingatan Sekala masih hilang waktu itu, Ma. Sekarang Sekala ingat semuanya," jelas Sekala. "Tolong ngerti, Ma."

"BITCH! KENAPA LO REBUT CALON SUAMI GUE?!"

Nadia berlari ke arahku. Hendak menyerangku. Dia kalap. Tangannya berusaha meraih tubuhku tetapi Sekala menghalanginya.

"Lo bilang, lo sahabat gue? Bullshit!" umpat Nadia lalu tertawa sinis. "Sahabat macam apa lo?! Enggak punya harga diri!"

Aku mengepalkan tanganku di samping tubuh kesal. Aku ingin sekali membungkam mulutnya itu. Aku menyingkirkan tubuh Sekala lali berdiri tepat di hadapan Nadia.

"Hey! Sebenernya yang ngerebut itu lo apa gue, hah?! Lo tahu gue pacarnya Sekala, lo tahu gue nungguin dia lama banget gara-gara dia hilang, lo tahu gue enggak pernah sehari aja berhenti nangisin dia setiap malam, tapi lo? Apa yang lo lakuin, huh?"

Emosiku meletup-letup hari ini. Aku tidak bisa menahannya. Dulu, Sekala tidak mengingatku jadi aku hanya diam saja. Namun sekarang tidak lagi.

"Lo tahu dia Sekala yang sama tapi lo enggak ngomong sama gue! Lo malah jadian sama dia saat dia lupa sama gue!"

Nadia akhirnya diam. Menundukkan kepalanya dan perlahan mundur dari hadapanku. Dia segera keluar dari kediaman keluarga Sekala.

Ibu Sekala dan ayahnya juga ikut diam ketika mendengar perdebatanku dan Nadia itu.

"Telpon orang tuanya Nadia, kita batalkan semuanya," ucap ayah Sekala sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruang keluarga itu.

Istrinya hanya mengangguk lemah lalu pergi mengikutinya.

Bahuku sudah naik turun tidak karuan. Lega rasanya mengungkapkan semua. Nadia adalah sahabat yang terlalu kejam. Lalu aku memutar tubuhku, menatap sendu Sekala. Di sisi lain aku merasa buruk. Ah, entah kenapa aku merasa bersalah.

"Sekala, apa aku salah?"

Sekala tersenyum lembut lalu menggeleng. Dia kemudian merengkuhku ke dalam pelukkannya.

"Maaf, ini semua salah saya."

Aku menggeleng lalu mengeratkan pelukanku.

"Semuanya akan baik-baik saja, percaya sama saya."

Dia mengusap rambutku perlahan lalu mengecup puncak kepalaku selama beberapa saat.

[.]

RindumuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang