Tiga hari menjelang acara mitoni.
Gadis itu sekarang justru berada di rumah Mas Hermawan.
Sepertinya ini adalah rencana mereka, agar aku dan adik sepupu Mbak Kesuma itu menjadi semakin dekat.
Dan sepertinya terjadi demikian.
Se-per-ti-nya.
Aku berada di halaman rumah Mas Hermawan. Menunggu keluarga besarku yang sebentar lagi akan datang sembari mengasuh keponakanku, Sekar. Gadis kecil itu baru berusia tiga belas bulan dan sedang belajar berjalan. Menggemaskan. Apalagi pipinya yang besar seperti onde-onde itu.
Tangannya memegang jemariku dan dia terus berjalan ke sana kemari. Membawaku terus membungkuk untuk membantunya berjalan.
"Kungji... kungji...," ucapnya tak jelas seraya mencoba berlari ke suatu arah.
Aku hanya mengikutinya, sedikit kewalahan. Hingga akhirnya kepalaku yang terus menunduk ini menubruk seseorang. Aku mendongakkan kepalaku. Raden Aji ternyata, ia datang beserta keluarganya.
Raden Aji kemudian menggendong Sekar dan gadis itu terus tertawa senang.
"Eh, Sekar lagi main sama paklik ya?" ucap Raden Wati, istri Raden Aji.
Sekar hanya tersenyum dan berucap entah apa. Aku tidak mengerti. Hanya dia dan kedua orang tuanya yang tahu.
Raden Aji dan istrinya kemudian pergi membawa Sekar masuk bersama beberapa orang lalu hanya tersisa dua orang di halaman depan itu.
Aku dan Gayatri.
Kali ini kebayanya berwarna biru muda, rambutnya tampak digelung rapi dan jariknya menjadi lebih pendek sekarang.
"Mau saya temani jalan-jalan?" tawarnya setelah beberapa langkah maju mendekatiku.
"Saya sudah jalan berkeliling rumah ini sepuluh kali sejak tiga hari yang lalu," sahutku, menolak tawarannya secara tidak langsung.
"Kalau begitu kamu yang temani saya?" pintanya.
"Kamu pasti sudah mengelilingi rumah ini lebih banyak dari saya." Aku menolaknya lagi.
Dia berdecak sebal. "Kamu terus menolak saya."
"Tidak juga." Aku membela diri.
"Kamu enggak pernah bilang ya," ujarnya murung.
"Karena penawaran kamu tidak menarik bagi saya," jawabku lalu tersenyum tipis.
Dia menggembungkan pipinya, membuatku jadi ingin mencubit pipi itu.
"Jangan buat pipimu seperti itu," ucapku seraya menatapnya.
"Memangnya kenapa?" tanyanya seraya memajukan wajahnya dan menggembungkan wajahnya lagi.
"Kamu terlihat semakin gendut," jawabku sambil mengalihkan pandanganku dari wajahnya yang berada tepat di depan wajahku.
Dia menatapku kesal selama beberapa saat lalu mendengus. Sementara aku hanya terkekeh.
"Mas, temani saya ke kandang kuda ya?" pintanya, sedikit merengek. "Saya enggak pernah ke sana. Kata Mas Hermawan kalau saya mau ke sana harus sama laki-laki."
"Mau saya panggilin Pak Sutar untuk menemani kamu?" tawarku. "Dia juga laki-laki."
Gayatri mendengus. "Saya maunya sama kamu."
Aku tersenyum lalu mengangguk. "Baiklah jika begitu."
Aku tidak menolaknya kali ini. Ya, hanya sekali tidak apa-apa, bukan?
Kami kemudian pergi mengunjungi kandang kuda yang letaknya terpisah dari rumah Mas Hermawan. Cukup jauh juga, tapi gadis itu memutuskan untuk berjalan kaki.
Langit di atas sana sudah abu-abu sejak pagi. Namun bukannya menumpahkan hujan, langit itu justru semakin nenghitam.
"Sepertinya akan turun hujan sebentar lagi," celetukku setelah menatap langit.
"Tak apa hujan, asalkan saya bersama kamu," sahut Gayatri lalu tersenyum lebar menatapku.
Sialnya, tubuhku ini kembali berdesir.
Hujan akhirnya benar-benar turun dan kami belum juga sampai di kandang kuda. Aku dan Gayatri berlari mencari tempat berteduh. Refleks aku memayungi gadis itu menggunakan tubuh semampuku, hingga akhirnya kami berteduh di sebuah gubuk kecil milik pedagang pernak-pernik.
"Mas?" panggilnya. Membuat tubuhku kembali berdesir seketika.
"Ya?"
"Terima kasih," ucapnya tiba-tiba seraya tersenyum ke arahku.
"Ya?" sahutku heran.
"Terima kasih sudah menghabiskan waktu kamu bersama saya. Terima kasih sudah tersenyum bersama saya," sambungnya. Membuat jantungku berdegup dengan kencang. "Terima kasih sudah tidak menolak saya kali ini."
Aku terpaku sejenak. Irama detak jantungku ini bahkan bisa aku dengar sendiri.
"Maaf saya selalu menolak kamu, Gayatri."
[.]
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindumu
Short Story[BOOK 2] Read HEARTBEAT first! "Jika kamu, Gayatri kedua-ku, Cataluna Renata, membaca catatan ini. Itu tandanya, aku, Sekala Ajinegara, sudah kembali ke dalam masa penantian panjang. Menanti Gayatri-ku yang lain lagi. Walau sesungguhnya aku tak mau...
