4 [part 1]

2.4K 197 92
                                    

Evren POV

LINE MESSAGE

LaNiaa :Ren

Ev.Ren: ?

.LaNiaa: Lo kenapa?

Ev.Ren: Gpp.

.LaNiaa: Lo marah ya sama gue?

Ev.Ren: G.

.LaNiaa: Boong bngt -_-

Read

Percakapan membosankan itu akhirnya terhenti. Itupun aku yang memutuskan untuk diam.

Wahai Nia kawanku ...
Mengapa kau masih tidak mengerti bahwa bad mood ini belum musnah.
Sejujurnya, aku tidak marah padamu.
Hanya saja kau telahku jadikan sebagai bahan pelampiasan.
Ego sekali bukan?

"Cieee ... Besok udah nggak pake rok biru lagi."

Aku menatap datar kearah Ibu dan Ayah yang tiada hentinya meledekku.

"Ihh, Ren mah nggak ada seneng-senengnya pisan ya, Yah?" Ibu mengomentari wajah flat-ku.

Ayah menoleh kearah Ibu, lalu kembali memandangku yang masih dengan wajah flat. "Tau tuh ... Masih mending bisa masuk sekolah negri."

"Ayah ... Ibu ..." seketika mulut mereka terhenti bicara saatku mulai berkata-kata. "Ren seneng kok bisa masuk sekolah negri."

Senyum mereka mengembang usai mencerna perkataanku. Tampaknya mereka senang dibalik kesengsaraanku yang tiada hentinya memikirkan masalah sekolah, sekolah dan sekolah mulai dari pagi, siang, sore, malam hingga hari terus berganti sampai detik ini.

"Tapi itu akan terjadi kalo Ren nggak masuk jurusan IPS."

Sebaliknya, giliran mereka memasang wajah flat-nya kearahku. Karena, sambungan kataku yang tidak enak didengar.

"Kenapa? Apa ada yang salah dari perkataan, Ren?" tanyaku pura-pura tidak tahu.

Keduanya membungkam mulut rapat-rapat. Hingga membuat suasana di ruang keluarga berubah hening.

"Ayahhh ... Tuh ada temen Ayah di bawah!" teriak Raka sekencang-kencangnya dan meminta Ayah untuk turun.

Wajah Ayah yang tadinya tidak enak untuk dipandang kini berubah menjadi sangat cerah. Bukan hanya Ayah, Ibu pun sama.

Dengan lincah sepasang suami istri berumur 40-an itu menuruni satu per satu anak tangga dan dibuntuti olehku.

Dua orang pria sudah duduk manis di ruang tamu dengan suguhan teh hangat yang telah disediakan oleh Raka. Salah satu dari mereka mulai menyerudup kenikmatan teh hangat tersebut.

"Pak Adnan lama tidak berjumpa," sambut Ayahku melepas kerinduan diselingi dengan pelukan untuk menyambut hangat tamu Beliau.

Setua apapun seorang pria kebanyakan dari mereka masih saja bersikap seperti anak kecil terutama saat bertemu dengan teman-temannya.

Dibelakang pria berjas itu ada seorang cowok bergaya monochrome dengan kaos putih berlengan panjang biru navy dan mengenakan bawahan black jeans serta sneakers berwarna hitam bergaris merah.

That's simple, but he looks so perfect!

"Kamu Wiam-kan? Udah lama banget Om nggak ketemu sama kamu, terakhir ketemu pas masih SD ya?"

Senyuman berlesung pipit itu pun terbit. "Hehe ... Ya, Om. Udah lama banget ya."

"Oh, ya kenalin ini anak Om. Namanya Evren," Ayah langsung merangkul bahuku dan memperkenalkanku pada cowok tampan yang kini berada tepat dihadapanku.

"Oh ... Ini anak Om. Cantik juga ya! Sama kayak tante," ucapnya sambil melirik kearah Ibuku yang berada disamping Ayah.

Mataku terbelalak usai mendengar perkataan cowok tampan yang baru sajaku kenal itu. Entah mengapa ada kesenangan tersendiri. Ingin terbang rasanya.

Ibu ikut tersipu atas pujian Wiam. "Ahh ... Bisa aja kamu!"

"Diliat-liat si Wiam sama Ren cocok juga ya, Bu!" Ayah memperhatikan aku dan Wiam dengan tatapan serius.

"Bener banget tuh, Yah!"

"Saya juga setuju banget!" Ayah Wiam ikut beragumen tentang kami berdua.

Wiam nampak kebingungan dengan percakapan para orang tua.

"Ren siapa?" tanyanya kebingungan.

Benar juga! Dia saja belum tahu namaku.

Ayah, Ibu dan pak Adnan tertawa lepas melihat ekspresi Wiam yang terlihat sangat penasaran akan sosok 'Ren'. Padahal 'Ren' sedang berada di depan matanya. Ya, itu aku!

"Ren itu panggilan anak kesayangan Om yang satu ini," puji Ayah sambil mengelus-elus rambutku hingga sedikit berantakan.

"Hahaha ... Maklum aja kalo kamu bingung," timpal Ibu.

Wiam mengangguk-anggukan kepala. "Oh jadi itu panggilan anak Om."

"Kenapa? Namanya kedengaran aneh ya?" kulontarkan pertanyaan yang tertuju pada Wiam.

"Soal nama panggilan nggak jadi masalah kok, mau sebagus apapun itu juga tergantung sama orangnya. Lagi pula lo sendiri yang berpikiran jelek kalo nama itu nggak cocok, padahal sih cuma perasaan lo doang."

"Ekhem ... Keliatannya udah mulai akrab nih ..." kata Pak Adnan sedikit berdeham.

Aku mulai kehabisan kata-kata. Rona di wajahku memerah. Sampaiku tak berani menatap cowok tampan itu. Ya, Tuhan, sungguh mengagumkan sekali cowok ini.

"Hebat ya anak kamu berhasil ngambil hati anak saya dalam sekejap mata," puji Ayahku pada si cowok tampan.

"Saya nggak ngambil paksa kok, Om. Justru saya mau minta izin buat simpan hatinya Ren. Bolehkan Om?" dengan polosnya pertanyaan itu keluar dari mulutnya.

Para orang tua saling bertukar pandang. Sesekali mereka menatap kami berdua.

"Emm ... Gimana ya ..." tiba-tiba Raka ikut nimbrung dalam lingkup perbincangan orang dewasa.

"Gimana, Rak? Kira-kira setuju nggak nih kalo kakak kamu aku ambil?" Wiam juga menuturkan pertanyaan pada Adikku.

"Boleh-boleh ... Kalo perlu karung-in aja, abis itu bawa pulang dan nggak usah dibalikkin lagi. Aku ikhlas kok, pake banget malah."

Sabar Ren sabar, untuk sementara ditahan dulu amarahnya. Inget sit-kon. Soalnya sekarang lagi ada cogan.

"Menurut Om dan Tante bagaimana?" tanya Wiam penasaran dengan jawaban dari kedua orang tuaku.

TBC ...

GIF ALBY >< EVREN

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

GIF ALBY >< EVREN

My Warm BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang