Evren POV
Hal yang paling ditunggu-tunggu murid saat berada di sekolah itu ada 3. Pertama, freeclas—jam-jam anti guru—. Kedua, bel istirahat. Ketiga, bel pulang berdering ...
"Lo kenapa belom pulang? Bukannya tadi lo langsung ngibrit keluar pas bel pulang sekolah bunyi?" tanya Alby padaku yang termenung duduk di kursi panjang seorang diri.
Aku menatap mata Alby lekat-lekat. "Gue pengen ngomong sesuatu sama lo, Al," ucapku serius.
Alby lekas duduk di sebelahku. "Soal apa?"
"Soal ..." kualihkan pandangan ini tertuju ke ujung sepatuku—saking gugupnya—.
"Ada apa? Nggak perlu takut dan nggak perlu ragu buat ngomong sama gue," Alby berusaha mencairkan suasana.
"Gue jahat ya? Gue bikin lo terperangkap dalam lubang yang sama. Sebab lo jatuh ke lubang itu pada awalnya karena ulah gue," kalimatku penuh dengan teka-teki.
Alby tersenyum, ia mengerti maksud dari keresahan isi hatiku mengenai pertengkarannya dengan Bobcha tadi siang. "Nggak, gue gak merasa terperangkap dalam lubang itu. Gue sengaja masuk ke lubang itu supaya gue bisa nyelametin lo."
Apa benar begitu? Jangan bikin gue bingung, Al. Tapi, gue gak nyangka kalo ini emang udah direncanain. Diantara niat lo emang baik dan tulus buat bantuin gue atau ini cuma bikin gue tenang sementara dan suatu saat lo bakal bales dendam ke gue. Astagfirullah, gue nethink banget!
"Ren tatap mata gue!" perintah Alby.
Tadinya aku ragu menuruti perintah Alby. Namun, sekarang kutatap matanya lekat-lekat.
"Liat gue! Gue gak dianiaya, gak ditampar, gak dipukul dan gak diskorsing. Terus hal yang masih lo khawatirin sampai sekarang itu apa?" tanyanya heran.
Benar juga. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan darinya. Terus terang saja meski demikian hati ini tetap menyimpan resah.
"Yuk turun! Gue anter lo pulang," ajaknya.
Lamunanku buyar ketikaku amati sekeliling koridor lantai 2 sudah sepi, hanya ada aku dan Alby.
Cuaca hari ini sedang tidak bersahabat. Langit berubah menjadi gelap dan awan mendung mulai nampak. Aku harus segera tiba di rumah sebelum akhirnya hujan lebat lebih dulu mengguyur seisi kota.
"Nih pake! Karena lagi musim hujan jadi gue sengaja bawa jaket itu," ia menyodorkan jaket parasut—Bomber Macbeth—berbahan polyester berwarna hijau army.
"Nggak usah," tolakku.
"Udah pake aja!" paksa Alby.
Dengan berat hati kukenakan jaketnya yang entah sudah dicuci atau belum.
Semoga nggak bau ketek.
"Rumah lo jauh nggak dari sini?"
"Nggak jauh kok. Lo tau daerah Setu-kan?"
"Deket gimana? Itu lumayan jauh tau! Kita lewat kampung-kan bukan jalan raya?"
"Disitu mah adanya jalan tikus yang cuma muat satu motor doang, tapi bisa juga sih lewat jalan raya."
"Iya tau ... Maksud gue biar nggak perlu pake helm, soalnya gue gak bawa samsek."
"Trus lo pulang gimana? Emang nggak takut ditilang polisi?"
"Gue tau jalan pintas. Jadi, slow aja."
"Oalahh ..."
"Udah buruan naek!"
"lya sabar, bawel!"
Untuk pertama kalinya aku diantar pulang seorang cowok selain ayahku sendiri. Rasanya gugup sekali. Jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya. Entah apa yang sedang kupikirkan saat ini, benar atau tidak. Tapi, aku merasa perhatian yang Alby berikan padaku benar-benar tulus. Ia memperlakukanku layaknya seorang cewek yang pantas untuk dihargai, tidak seperti Kak Bobcha yang sifatnya sangat bertolak belakang dengan Alby.
Sudah terlambat. Hujan turun lebih cepat dari perkiraanku. Tetes demi tetes air berjatuhan, lama-kelamaan rintik itu berubah menjadi deras. Membasahi setiap permukaan bumi dan membentuk genangan air dipermukaan aspal yang tak beraturan. Suara gemuruh saling bersahutan hingga membuat telinga ini bergetar ketakutan. Hembusan angin kencang membuat tubuh ini semakin menggigil kedinginan.
Kaca spion Alby memang dipenuhi butiran air, namun bukan berarti ia tak bisa melihat dengan jelas keadaanku yang sedang menggigil kedinginan.
"Ren, gue bisa jadi mentari dikala hujan," tuturnya sok puitis.
"Maksud lo?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alis.
"Gue nggak merasa keberatan buat izinin lo meluk tubuh gue. Seenggaknya gue bisa jadi penghangat tubuh lo," tuturnya seolah-olah dia memang memaksaku.
Deg!
"Gue tau lo bakal berat buat ngelakuin itu, tapi gue nggak mau ngeliat bangku yang ada disebelah gue kosong," jelasnya. "Sekarang tutup mata lo, bayangin kalo lo lagi peluk seseorang yang lo suka, yang lo cinta, dan yang lo sayangin. Maka rasa berat itu akan hilang dengan sendirinya," Alby terus memberikan arahan padaku.
Kulakukan secara perlahan, namun pasti. Hingga kusenderkan kepalaku kepunggungnya. Dan boom! Aku berhasil! Sekarang aku bisa berkhayal bahwa yang kupeluk saat ini adalah Wiam, bukan Alby.
~●~
KAMU SEDANG MEMBACA
My Warm Boyfriend
Novela JuvenilPertemuan bukanlah keutamaan. Kedekatan bukanlah jaminan. Suka bukanlah tumpuan. Cinta bukanlah kepastian. Dan sayang bukanlah alasan. Karena orang yang benar-benar bisa menjadi penghangat, itulah yang kucari diantara kalian. ©oneda_ 01/02/18