21 [part 2]

992 44 9
                                    

Evren POV

Depan Ruang UKS disesaki para siswa dan siswi SMA Indonic mulai dari kelas X hingga kelas XII. Bisa dibilang mereka semua kepo akan keberadaan seorang murid yang sudah pingsan kurang lebih tiga setengah jam lamannya, sayangnya mereka hanya bisa mengintip dari luar kaca jendela itupun secara bergantian hingga rela berdesak-desakkan di luar sana.

Aku sudah berusaha untuk menghubungi Bunda Mega dan Beliau sedang dalam perjalanan kemari. Dikarenakan kondisi macet di jalan jadi hingga saat ini pun Alby masih terbaring lemah di ruang UKS dan belum juga siuman. Keadaannya semakin memprihatinkan.

Guru sudah melapor pada Kepala Sekolah dan lekas membawa Alby ke rumah sakit terdekat agar mendapat penanganan dari sang dokter. Akan tetapi Bunda Mega tidak setuju atas saran tersebut dengan alasan ingin memanggil sendiri tim medis untuk merawat Alby di rumah saja agar beliau dapat mengontrol perkembangan kondisi tubuh Alby secara maksimal. Selain itu pula Beliau juga tidak usah repot bolak-balik membawa barang bawaan dari rumah ke rumah sakit untuk menjalankan rawat inap, jadi Beliau bisa jauh lebih tenang dan nyaman apabila berada di rumah sendiri.

Di dalam ruangan ini juga ada beberapa siswa yang kondisi tubuhnya juga sedang drop. Tak heran kalau lagi musim pancaroba dan perubahan cuaca ekstrim seperti ini tentu saja dapat membuat orang mudah untuk terkena penyakit. Misalnya seperti, pusing, FLU, dll, sudah merupakan hal yang dominan terjadi. Akan tetapi, ada pula yang terkena DBD, tipes, atau penyakit berbahaya lainnya yang dapat menyerang siapapun, kapanpun dan dimanapun orang itu berada. Seharusnya lebih banyak memanfaatkan waktu untuk beristirahat yang cukup dan diselingi dengan memakan-makanan serta buah-buahan yang mengandung banyak khasiatnya. Itulah cara agar kita dapat membentengi diri dari serangan penyakit. Serta jangan lupa untuk menjaga kebersihan lingkungan.

Sudah berlembar-lembar tissue-ku pakai untuk mengelap butiran-butiran air mata yang terus saja berjatuhan bagaikan rintik hujan yang jatuh dari langit. Kini kantung mataku sembab. Bagian hidung serta hampir seluruh permukaan wajahku memerah karena tiada hentinya menangis dihadapan orang yang senantiasa berada didekatku meskipun kami awalnya hanya orang asing yang tidak saling mengenal satu sama lain. Namun, entah mengapa aku merasa iba sekali melihat kondisinya yang lemah tak berdaya. Hatiku sakit, seolah-olah seperti ada benda tajam yang telah menusukku.

Alby lo sayang sama gue-kan? Sekarang gue minta buka mata lo, pleaseee …

Dengan segala harapan yang terpendam, aku hanya bisa berkomat-kamit untuk terus berdo'a dalam kesunyian batin.

Mungkin butuh waktu lama buat nunggu lo sadar, gue rela kok. Intinya satu hal yang sekarang gue harapkan adalah lo mau buka mata dan ini semua gue lakuin demi kebahagiaan orang tua lo. Mereka butuh lo, Al!

“Sudahlah Ren, jangan menangis terus. Dia akan baik-baik saja,” tutur Bu Tati—Si Penjaga UKS—

Kepalaku menengadah. “Bagaimana Ibu bisa tahu kalau dia baik-baik aja?”

Ibu itu menggeleng. “Dia temanmu. Seharusnya kamu lebih tahu,” kata-katanya terdengar bijak.

Beliau benar, seharusnya aku jauh lebih tahu tentang Alby. Bodoh, teman macam apa aku ini? Aku tidak pernah tahu hal-hal yang sering ia lakukan secara detail. Aku tidak tahu apa hobinya, kesukaannya bahkan aku tidak pernah bisa menebak jalan pikiran Alby. Selain itu, aku ini teralu cuek dan egois. Kebaikan yang kulakukan padanya takkan sebanding dengan apa yang ia berikan padaku. Aku benar-benar malu pada diriku sendiri. Aku merasa tak berdaya. Aku merasa tidak berguna. Maafkan aku Alby.

“Kamu harus yakin kalau temamu ini laki-laki yang kuat.” Bu Tati kembali menyemangatiku dengan segala upaya.

Bibirku tersenyum dibawah sendu. “Iya, Ibu benar.”

Jari jemari Bu Tati perlahan mengangkat daguku hingga kudapat menatap wajah Beliau lebih jelas meski masih terhalang oleh genangan air dimataku. “Memangnya kalau dia pingsan gak bisa denger apapun? Pasti masih bisa-kan? Apalagi kamu nangis histeris kayak gini di deket telinganya. Pasti dia bakal sedih meskipun lagi ada di dalam alam bawah sadar.”

Lagi-lagi Beliau benar. Aku lekas mengambil lembaran tissue untuk terakhir kali sebelum air mata ini menetes kembali, menghapusnya dan berusaha tuk mengembangkan senyum manis dihadapan Bu Tati agar Beliau tahu bahwa kini aku bukanlah gadis cengeng yang kerjaannya hanya bisa menangis tersendu-sendu.

Alby, lo denger-kan apa kata Bu Tati barusan? Sekarang gue udah gak nangis lagi kok. Jadi, gue mohon lo harus secepatnya bangun.

“Alby!!”

Seorang wanita lain selai Bu Tati sudah berdiri di dalam ruangan ini tepat dihadapan kami. Dengan pakaian sopan dan sederhana. Ia rela menunggu berjam-jam lamanya diantara kemacetan. Bunda Mega, Beliau dengan segala pengorbanan telah berhasil tiba disini dengan selamat untuk menengok keadaan anak kesayangannya.

“Bang Alby, bunda disini nak.” Suara wanita ini berubah menjadi parau. Kemudian Beliau memeluk anaknya erat-erat dengan penuh kasih sayang.

Sungguh aku tak kuasa mendengar isak tangis Beliau dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri tragedy ini. Siapapun yang ada disini akan tersentuh. Kehangatan dan juga kasih sayang seorang Ibu terpancar luas disudut pandang para siswa-siswi di sekolah ini.

“Ren!”

Hangat, hangat sekali. Bunda Mega juga memelukku dengan penuh kehangatan. Entah mengapa aku merasa nyaman dalam pelukkan Beliau. Aku jadi terbayang-bayang Ibuku. Aku ingat bahwa kini Beliau mulai jarang memelukku bahkan hampir tidak sama sekali karena kesibukkannya dalam mencari uang untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari bersama Ayah. Andai Beliau adalah Ibuku. Aku akan merasa jauh lebih nyaman ketika berada dipelukkan Ibuku sendiri.

“Tante, aku nggak apa-apa,” kataku sambil melepas pelukkannya.

Beliau menatapku dalam-dalam. “Tante tau kamu pasti sayang banget sama Alby kan?”

Aku masih tidak memahami bagaimana perasaanku pada Alby. Hanya saja aku sebatas menganggapnya sebagai teman. Ya, hanya teman tidak lebih daripada itu. Meski terkadang muncul perasaan aneh yang tidak bisa kupahami secara logika, yaitu perasaan nyaman ketika berada didekatnya.

Karena aku tidak ingin menyinggung perasaan Beliau, jadi aku buru-buru membalasnya dengan sekali anggukkan.

Beliau tersenyum lebar dan lekas memelukku kembali dihadapan Bu Tati serta seluruh siswa-siswi yang menyaksikan kami disaat itu pula. Ya, aku malu atas berlangsungnya kejadian itu. Tetapi, aku paham betul bagaimana perasaan Beliau. Jadi kuputuskan untuk memberikannya peluang untuk menenangkan diri, apabila dengan begini caranya aku akan bersedia.

TBC ...

My Warm BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang