Membosankan itu ... Ketika menghabiskan waktu libur kelulusan sekedar untuk berbaring di atas kasur sambil menatap langit-langit kamar yang dilapisi cat serba berwarna putih dengan tatapan yang kosong.
Kenapa sih aku belum pernah pergi ke tempat-tempat yang mengaggumkan selain jalan-jalan ke Bandung? Padahalkan masih banyak tempat menarik lainnya yang menjadi pusat perhatianku. Teman-temanku saja sudah pergi bertamasya keluar kota bersama keluarganya. Tidak harus berlibur sampai jauh-jauh ke luar negri, pasti sudah sangat mengasyikan bisa hiking di Yogya, berlibur ke Pantai Bali, Pulau Lombok dan Raja Ampat di Papua. Intinya semua tempat-tempat indah di Indonesia yang terlihat sangat menarik untuk dikunjungi. Membayangkannya saja sudah membuatku terkagum-kagum pada ciptaan Sang Maha Kuasa. Maklum, beginilah nasib anak kurang piknik.
Tok ...Tok ...
"Ren, kamu tidur?"
Lamunanku seketika buyar setelah mendengar suara ketukan dari balik pintu dan sepertinya itu suara yang tak lagi asing untuk kudengar setiap harinya. Siapa lagi kalau bukan suara Sang Ibu tercinta.
Kuangkat tubuh ini dengan malasnya dan kini posisiku sedang duduk di atas kasur yang empuk dan megah. "Enggak kok, Bu. Aku lagi santai habis bersih-bersih kamar."
"Oh begitu, boleh Ibu masuk? Ada yang harus Ibu bicarakan." Ibu memintaku untuk membukakan pintu yang kukunci dari dalam, sedangkan aku sendiri merasa sangat malas untuk beranjak dari kasur, akan tetapi sebagai anak yang baik aku harus melakukannya meskipun dalam kondisi tubuh yang sedang berkeringat dan letih.
"Iya, ada apa, Bu?" Tanyaku pelan sambil menampilkan wajah yang teramat penat.
Beliau bergeming, entah apa alasannya.
Dalam hitungan detik raut wajah beliau berubah menjadi mengkerut dan terlihat sangat amat gelisah.
Melihat raut wajah beliau yang seperti itu jadi membuatku semakin penasaran. "Ibu kenapa?"
Pada akhirnya beliau angkat suara. "Nak, Ibu bingung."
Ucapan beliau tadi masih membuat diriku bertanya-tanya.
"Bingung kenapa, Bu?" Tanyaku heran.
"Tadi, Ibu sempet cek lagi namamu tapi udah enggak ada di SMA Garuda."
Tidak kusangka ternyata NEM anak-anak yang mendaftar di sekolah itu memiliki kecerdasan otak yang di luar dugaanku. Sepertinya mereka semua adalah anak-anak einstein! Apalah dayaku hanya dapat meraih NEM pas-pasan. Dari empat mata pelajaran apabila dihitung hasilnya akan menjadi 28.95, kecil sekalikan? Habis mau bagaimana lagi memang itulah hasil yang dapat kuraih selama belajar 3 tahun di SMP Tunas Kelapa. Kalau diingat-ingat ternyata cukup menyedihkan masa SMPku.
Kini aku merasa resah ketika membayangkan nasibku kedepannya. "Bu, Ren takut kalo enggak dapet sekolah negri." Aku benar-benar merasa hati kecilku saperti sedang diselimuti kekhawatiran yang mendalam.
"Jangan ngomong begitu! Kan masih ada pilihan kedua dan ketiga," Ibu berusaha menenangkan diriku yang sedang panik.
Benar juga kata Ibu, setidaknya aku masih ada harapan untuk bisa diterima di sekolah negri yang aku inginkan.
"Yasudah, mending kamu sekarang mandi, abis itu salat dhuha, mumpung masih sempet," saran beliau sambil melirik ke arah jam dinding. "Habis itu kita makan siang bareng," lanjut beliau sebelum pergi dari kamarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Warm Boyfriend
Teen FictionPertemuan bukanlah keutamaan. Kedekatan bukanlah jaminan. Suka bukanlah tumpuan. Cinta bukanlah kepastian. Dan sayang bukanlah alasan. Karena orang yang benar-benar bisa menjadi penghangat, itulah yang kucari diantara kalian. ©oneda_ 01/02/18