Author POV
Evren sedang bertatap muka dengan dokter yang sedang menangani Ibunya. "Dok, bagaimana kondisi Ibu saya? Apa ada perkembangan? Saya liat kondisinya masih memprihatinkan." Sudah hampir seminggu beliau menjalani rawat inap di salah satu rumah sakit yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat Evren bersekolah. Menjenguk Ibunya sehabis pulang sekolah sudah menjadi kegiatan rutin.
"Untuk saat ini masih belum." Dokter itu menjawab dengan wajah gelisah. "Kamu harus kuat, Nak." Dokter itu berusaha menyemangati Evren, akan tetapi perkataan itu justru membuat Evren menjadi semakin murung dan memalingkan pandangannya. "Sekolahmu jauh lebih penting dan buatlah beliau bangga!"
Evren membungkam mulutnya dan ia masih tertunduk lesu. Dokter memegang kepala Evren sambil mengatakan sesuatu. "Beliau pasti bangga punya anak sepertimu." Perkataan itu terdengar jelas masuk ke gendang telinganya. Pada akhirnya ia mau menengadahkan kepalanya dan menatap kembali kedua mata dokter muda yang cantik dan dermawan itu. Ia tersenyum tipis, masih ada sepucuk rasa senang dihatinya, meskipun rasa sakit hampir menyelubungi kegelapan dihatinya.
"Dokter permisi dulu, masih ada pekerjaan lain yang harus diselesaikan, jaga baik-baik Ibumu." Dokter itu melirikkan mata ke arah Ibunya Evren yang masih terbaring lemah, kemudian matanya tertuju ke arah tombol merah yang berada tepat di sebelah kanan ranjang Ibunya. "Jika butuh sesuatu, jangan lupa untuk menekan bel itu." Kemudian Sang Dokter lekas pergi meninggalkan Evren dan Ibunya di kamar inap.
Dengan wajah yang teramat gelisah, Evren kembali untuk mengecek kondisi Ibunya. Ibunya masih terbaring lemah dengan selang infus di tangan kirinya. "Ibu yang kuat ya, Evren yakin Ibu bisa sembuh." Meskipun demikian masih ada kata ragu dibenaknya, namun dokter selalu mengingatkannya untuk terus berdo'a kepada Yang Maha Kuasa dan Evren disarankan untuk terus berpikir positif bahwa penyakit Ibunya masih bisa diobati dan diberikan kesembuhan.
Ia melangkahkan kakinya hingga kini berada tepat disebelah Sang Ibu tercinta. Ia berdiri sambil tertunduk lesu. Kedua tangannya mengepal kuat. Ibu sakit, tapi Ayah malah ..., batinnya berbisik, Ayah terlalu egois! Tanpa sadar kepalan tangan Evren memukul meja kayu berwarna putih yang berada di sebelah tempat ia berdiri, meja itu biasa dijadikan sebagai tempat untuk menaruh air minum dan obat-obatan milik Ibunya. Untungnya suara itu tidak mengganggu telinga Ibunya sama sekali. Beliau masih tertidur pulas dengan nafas halusnya. Suami macam apa, Ayah?! Sibuk kerja sampai lupa istri, apa itu yang dinamakan sebagai suami?!! Amarah Evren kini semakin bergejolak, ia tak menyangka Ayahnya bisa se-cuek ini terhadap kondisi Ibunya. Seharusnya Ayah yang lebih sering disini untuk jagain Ibu, karena aku tau Ibu lebih membutuhkan Ayah, kemudian Evren memukul dahinya dengan kepalan tangan kanannya dengan cukup keras. Pokoknya kalau sampai terjadi sesuatu pada Ibu, kemudian Evren menjatuhkan kepalan tangan kanannya kemudian mengelus lembut rambut panjang milik Ibunya sembari mengusap wajah beliau dengan penuh kasih sayang, semua salah Ayah! Sambungnya.
Tiba-tiba muncul suara orang yang membuka pintu kamar, hal itu memecah suasana hening di ruangan tersebut. Ia menoleh ke arah yang dituju. "Ran?! Lin?!" pekik Evren yang terkejut melihat kedatangan kedua sahabatnya. Ia melihat ke arah jarum jam yang melingkar dilengan kirinya, ternyata masih ada jam besuk, pantas saja mereka diizinkan masuk untuk datang menjenguk Ibunya.
"Kok kaget gitu sih?" tanya Rania yang heran melihat ekspresi sahabatnya. "Tau nih, malah kayak orang abis ngeliat setan, mataya aja sampe melotot gitu," komentar Elin sambil mengerucutkan bibir.
"B-bukan begitu!" Evren langsung tidak enak hati, karena muncul kesalah pahaman diantara kedua sahabatnya. "Setau gue hari ini kalian ada kerja kelompok Geografi, jadi gue pikir kalian nggak jadi dateng kesini," jelas Evren, meskipun kedua wajah sahabatnya berubah menjadi datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Warm Boyfriend
Teen FictionPertemuan bukanlah keutamaan. Kedekatan bukanlah jaminan. Suka bukanlah tumpuan. Cinta bukanlah kepastian. Dan sayang bukanlah alasan. Karena orang yang benar-benar bisa menjadi penghangat, itulah yang kucari diantara kalian. ©oneda_ 01/02/18