Author POV
"Kalo ayah gak keberatan Ren ingin bicara sebentar dengan ayah."
Ayah Evren melirikkan matanya ke arah Evren kemudian kembali sibuk dengan smartphone miliknya. "Tentu, ada apa, Evren? Kayaknya serius banget."
Yang tadinya berdiri kini Evren memutuskan untuk duduk disebelah ayahnya agar beliau mau menyimak perkataannya. "Apa belakangan ini ayah ada tugas tambahan di kantor?" kini Evren bukan lagi main-main, ia sudah memasang wajah serius sejak awal memulai percakapan dengan ayahnya.
Dengan sigap beliau mematikan smartphone-nya, lalu meletakkannya di atas meja. "Iya, Boss sering meminta ayah untuk melakukan itu."
"Apa ayah selalu menerima permintaan dari Boss?"
Ayah berdeham. "Gak juga, kadang ayah tolak."
"Terus pas ayah tolak, tanggapan Boss gimana?"
"Ya ... dia tetep maksa ayah buat ngelakuin hal itu, makanya belakangan ini ayah sering pulang larut malem dan bahkan bisa sampai pagi baru sampe rumah," jelas beliau.
"Tapi, Yah, seharusnya ayah bisa lebih bijak untuk mempertimbangkan sesuatu. Ibu lagi sakit, sedangkan ayah sibuk bekerja. Tapi, apa hal itu sudah tepat menurut ayah?" tanya Evren, supaya jalan pikiran ayahnya berubah.
Ayah Evren merubah tatapannya menjadi sinis. "Maksud kamu apa?"
"Begini, Yah, maksud Ren itu seharusnya ayah yang lebih sering menemani ibu di rumah sakit. Ren yakin kalo ibu sangat membutuhkan ayah. Tapi, kenapa ayah malah bertindak sebaliknya? Membiarkan ibu terkapar di rumah sakit tanpa memberitahu nenek dan kakek apa itu suatu tindakan yang tepat? Selain itu ayah hampir tidak sama sekali menemani ibu dari awal masuk rumah sakit, apa menurut ayah itu pantas untuk dilakukan?" cerocos Evren panjang lebar. "Meskipun ada tugas tambahan yang diberikan perusahaan, bila Boss tau istri ayah lagi sakit ada kemungkinan beliau akan mencari orang lain untuk menggantikan ayah. Apa jangan-jangan ayah sengaja nggak ngasih tau hal ini?"
PLAK!!!
Sambaran tangan diberikan tepat pada bagian pipi kanan Evren. Ia meringis kesakitan akibat warna merah yang membekas dipipinya. Ia melihat wajah beliau yang sedang diselimuti amarah. Ia tidak percaya apabila ayahnya baru saja menamparnya. Ini merupakan tindakan yang sudah diluar batas, karena Evren tahu betul sifat ayahnya yang penyayang. Padahal, ia hanya berniat untuk mengeluarkan unek-uneknya saja, akan tetapi keadaan justru malah semakin memburuk.
"Jaga bicaramu, Ren!" bentak beliau. "Sejak kapan ayah mengajarimu untuk mencampuri urusan orang tua? Tau apa kamu tentang dunia orang dewasa, hah?!" Begitulah tanggapan beliau tentang Evren.
"Tindakan Ren memang tidak sopan, tapi semua ini Ren lakuin demi Ibu. Biar ayah tau keinginan ibu saat ini," protesnya.
Mungkin karena sudah muak menanggapi omongan putri sulungnya, beliau ingin pergi begitu saja tanpa menyelesaikan permasalahan tersebut.
"Tunggu! Ayah mau kemana?" cegah Evren.
Beliau menepis tangan Evren. "Untuk apa ayah meladeni anak seperti kamu? Tidak ada gunanya!" ketus beliau. "Asal kamu tau aja, ayah bekerja demi mengumpulkan uang dan membiayai rumah sakit!" Beliau lekas pergi menuju kamar tidurnya.
Evren benar-benar tidak menyangka akan jadi seperti ini. Sungguh diluar perkiraannya.
Malam itu ia menangis di kamarnya sambil membayangkan wajah ibu tercinta. "Maaf, bu. Cuma ini yang bisa Ren lakuin." Evren berbicara pada dirinya sendiri dan terus berucap kata maaf pada bayang-bayang ibunya, ia merasa bahwa dirinya terlalu lemah dan tidak bisa diandalkan. "Bodoh! Apa cuma ini yang bisa lo lakuin, Ren?" cercanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Warm Boyfriend
Teen FictionPertemuan bukanlah keutamaan. Kedekatan bukanlah jaminan. Suka bukanlah tumpuan. Cinta bukanlah kepastian. Dan sayang bukanlah alasan. Karena orang yang benar-benar bisa menjadi penghangat, itulah yang kucari diantara kalian. ©oneda_ 01/02/18