5 [part 2]

2.3K 174 58
                                    

Evren POV

"Menurut Om dan Tante bagaimana?" tanya Wiam penasaran dengan jawaban dari kedua orang tuaku.

Semudah itukah cowok tampan kayak lo bisa meluluhkan hati cewek penuh ego kayak gue yang terbilang susah untuk jatuh cinta? Dan segampang itukah lo nyatain perasaan ke gue secara halus dan lembut dihadapan keluarga gue? Menit ini terasa amat singkat untuk mengenal lo, Wiam. Gue akui, lo termasuk kriteria cowok idaman para bidadari kehidupan!

Saku celana Pak Adnan sedikit bergetar. Rupanya ada panggilan masuk dismartphone-nya.

"Saya permisi sebentar."

Pria itu buru-buru mengangkat teleponnya. Kami semua tidak tahu siapa yang menelpon Pak Adnan. Kelihatannya sih penting. Mungkin telepon dari istri tercintanya.

"Ya, ada apa pak?"
"Baik-baik saya akan segera ke sana."

Kemudian ia memasukkan kembali smartphone bercorak gold kesaku celananya.

"Maaf Pak, Bu, sepertinya saya nggak bisa lama-lama disini."

"Yahhh ... Om lagi sibuk ya?" Raka terlihat sangat kecewa karena rencana untuk mengusikku gagal total.

"Kapan-kapan Om kesini lagi kok."

"Emang nggak bisa ditunda dulu, Pah?" tawar Wiam, sepertinya ia betah berlama-lama di rumah ini.

Beliau membalasnya dengan sekali gelengan kepala pada Wiam.

"Gak apa-apa kok, kami semua paham," ucap Ayahku meski nampaknya ada rasa berat dihatinya.

Wiam menghela nafas sejenak. "Yaudah kalo gitu, kami berdua mohon pamit ya Om dan Tante."

Sebelum pergi ia dan Ayahnya bersalaman dengan kedua orang tuaku.

"Ren, gue pulang dulu ya," ucap Wiam dengan manisnya kepadaku.

Aku hanya membalasnya dengan anggukan karena saking gugupnya dan tidak tahu harus bagaimana lagi.

"Sampai ketemu lagi, Cepot!"

"Cepot?" aku terkejut bukan main.

"Lo mau tau alasan kenapa gue sebut lo begitu? Setiap kali gue natap lo, muka lo langsung berubah drastis jadi merah. Apalagi dibagian pipi lo, itu ketara banget tau! Terus, lo langsung senyam-senyum nggak jelas, kayak yang sekarang lo lakuin tuh!"

Aku langsung memasang wajah datar secara paksa dan berharap rona pipi di wajahku cepat hilang demi menghindari cemohan dari Ayah dan Ibu terutama Raka.

"Waduhhh ... Kapan selesai nih ngobrolnya? Bisa-bisa Papa nunggu se-jam," Pak Adnan memberi isyarat pada anaknya yang tengah sibuk berbasa-basi untuk mengulur-ulur waktu.

Wiam yang paham langsung menuruti bahasa isyarat orang tuanya. "Pokoknya itu aja dan jaga diri lo baik-baik!" pintanya.

"Kak Wiam bisa aja!" ledek Raka.

Arah bola mata Wiam sedikit mengarah ke bawah agar bisa melihat wajah Raka dengan jelas. "Misalkan kakak kamu galak, nanti jangan lupa buat kasih tau ke aku kalo misalkan nanti kesini lagi, oke!"

"Beres kak!"

Aduh si Wiam ngapain sih segala nyuruh Raka buat ngawasin gue. Nanti kalo gue mau ngapain-ngapain-kan jadi ribet.

Mobil mewah Range Rober Sport 3.0 HSE telah menunggu di depan rumah kami. Rupanya mereka mengajak sopir untuk antar jemput.

Aku jadi teringat sopir dan beberapa pembantu penghuni rumahku yang sedang pulang kampung, kurang lebih mereka di sana selama 2 minggu. Kepergian mereka membuat rumah ber-lantai 2 dengan luas 900 m2 ini terasa seperti ada yang kurang. Maka dari itu pembantu rumah tangga disini kurang jumlah sehingga tuan rumahnya sendiri mau tidak mau harus membantu mereka untuk merapihkan tiap ruangan di rumah ini. Aku lebih sering berkemas di lantai atas bersama Mbak Sulis—biasa dipanggil Mbak Sul biar lebih akrab—.

Setidaknya satpam, tukang kebun dan beberapa pembantu lain masih menetap di rumah ini untuk membantu kami menyediakan makanan, berbenah rumah, merawat tanaman, serta menjaga keamanan disekeliling rumah.

"Tuan silahkan masuk."

Dengan segala hormat sopir itu membukakan kedua pintu untuk tuan dan sang tuan muda-nya.

Wiam membuka pintu kaca mobil hingga batas dagunya. "Bye, Ren ..." dilambaikannya sebelah tangan kearahku.

Aku masih terlalu kaku untuk soal ini. Bisa dibilang aku ini masih pemula. Jadi aku hanya bisa membalas dengan senyuman tulus. Itupun sudah lebih dari cukup untuk menutupi malu-ku, rasanya gugup sekali.

Dengan fokusnya kuamati mobil tersebut terus berjalan lama-kelamaan semakin menjauh hingga akhirnya tak terlihat lagi.

"Hei, Ren! Ayo, cepat masuk! Jangan ngeliatin Wiam terus!" tegur Ayah.

Ayah menyadari gerak-gerik mencurigakan dari anggota tubuhku. Ibu pula sudah cengar-cengir melihat kelakuanku. Aku yakin Raka juga sudah siap untuk mencemooh-ku lagi dengan kalimat-kalimat pedasnya.

"N—nggak kok, Yah, siapa bilang?" kataku terbata-bata.

"Ngeles mulu lo! Udah jelas-jelas mata lo nggak bisa kedieman pas pertama kali ketemu kak Wiam!" celetuk Raka.

Bola mataku berputar. "Anak kecil nggak usah ikut campur lah ya," kataku.

"Gue bukan anak kecil!"

"Berarti lo ketu!"

*ketu = ketuaan.

"Auah!" Raka memutar arah tubuhnya, lalu berjalan masuk ke dalam rumah.

Ibu membela Raka. "Kamu mah isengin adeknya mulu!"

Begitu pula Ayah. "Iya, gimana sih udah gede juga!"

Sebenar-benarnya seorang Kakak tetap saja salah dimata orang tua ketika sudah berurusan dengan Adik. Jarang ada sejarahnya Kakak dibela, apalagi istilah Kakak selalu benar. Almost no!

~●~

WIAM >< EVREN

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

WIAM >< EVREN

My Warm BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang