Author POV
Tadinya Alby ingin menyapa hangat kekasihnya dengan penuh keceriaan, sama seperti keadaan pagi yang cerah ini, namun semua itu hilang sekejap ketika ia mendapati Evren yang sedang duduk termenung di dalam kelas, tatapannya amat kosong, wajahnya terlihat tak bergairah untuk bersekolah, bibirnya mengerucut, matanya sembab seperti orang yang menangis semalaman, namun ada pemandangan yang lebih buruk daripada itu. Entah sudah berapa lama Wiam berada tepat di sebelah Evren, terlebih lagi ia duduk di tempat persinggahan milik Alby. Wiam sedang melancarkan serangan maut pada Evren dengan cara mengelus lembut bahunya berulang kali sebagai rasa empatinya. Tentu sebagai kekasih, Alby sangat tidak terima melihat Wiam bertindak seenaknya, apalagi ia melihat semua ini memakai kedua matanya sendiri. Maka timbullah kecemburuan sosial kala itu, Alby dengan geram melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti di ambang pintu, kemudian menepis tangan kanan Wiam dengan kasar. Wiam langsung terkejut bukan main.
"Maksud lo apa megang-megang dia, hah?!!" Dengan amarah yang meledak-ledak Alby mencengkram erat kerah baju milik Wiam hingga membuatnya bangkit dari kursi yang ia diduduki.
Evren baru sadar mengenai kehadiran Alby, ia yang tadinya murung dan tidak ada gairah untuk melakukan apapun, langsung ikut campur dalam persoalan ini meskipun keadaannya sedang lemah. "Apa-apaan sih kalian berdua?!" pekiknya.
Tatapan sinis Alby yang ditujukkan ke Wiam kini berubah menjadi tatapan lembut ke arah Evren. "Maaf, aku nggak terima kalo kamu dipegang-pegang sama cowok brengsek kayak dia!" jelasnya dan kembali menyorotkan pandangan mematikan ke arah Wiam.
"Apa lo bilang? Lo tuh yang brengsek!" Wiam melontarkan kembali perkataan Alby, ia sangat tidak terima apabila direndahkan dihadapan banyak orang termasuk Evren.
Sebelum timbul kekacauan yang lebih parah lagi, Evren segera mengambil tindakan untuk memisahkan mereka berdua. Tangan Alby segera disingkirkan dari kerah baju milik Wiam. "CUKUP, BY!"
Kini Wiam dan Alby menatap Evren penuh keheranan. "Kalian udah tumbuh dewasa tapi pemikiran kalian masih kekanak-kanakkan!" Dengan geramnya Evren berkata demikian.
Kepala Wiam dan Alby tertunduk lesu, mereka tidak bisa mengelak dari perkataan Evren barusan, karena ia berbicara sesuai fakta, selain itu mereka malu karena telah bertindak brutal dihadapan teman-teman sekelasnya. Mereka baru menyadari bahwa ini adalah tempat umum, terlebih lagi kini mereka sedang berada di sekolah yang seharusnya dijadikan sebagai tempat untuk menuntut ilmu serta membentuk karakter pribadi pelajar untuk menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya.
"Kalian jangan sampe niru apa yang dilakuin mereka berdua!" perintah Evren kepada teman-temannya yang lain. "Mereka terlalu egois!" sindirnya.
Ran dan Lin yang baru saja datang dan tidak menyaksikan semua kekacauan pagi ini, ia langsung terkejut melihat keadaan kelas yang sedang kacau balau dipenuhi kerumunan serta mendapati sahabatnya yang sedang mengamuk sambil menunjuk-nunjuk kedua cowok tampan di kelas mereka.
"Tapi, Ren. Kita nggak bermaksud untuk—"
Saking pusingnya karena tidak tahan lagi melihat kelakuan mereka berdua Evren memotong perkataan Wiam tanpa berpikir panjang. "Diem atau kalian berdua bakal gue laporin ke BK!" ancam Evren tanpa ada rasa berat hati ketika amarahnya sedang meledak-ledak.
Kedua cowok tampan itu langsung mengunci bibirnya rapat-rapat. Untuk pertama kalinya mereka berdua melihat Evren seseram ini ketika marah. Ternyata benar marahnya orang sabar itu luar biasa. "Gue anggep masalah ini udah selesai, sekarang kalian semua bisa ngelanjutin aktivitas masing-masing seperti biasa," ucap Evren, ia berusaha mengusir keramaian secara halus.
Merekapun menuruti dan memahami perkataan Evren, lalu lekas kembali ke kursi masing-masing.
"Ren, sebenernya apa yang terjadi barusan?" tanya Rania heran.
"Lo kenapa?" Elin ikut khawatir.
"Gapapa, gue baik-baik aja kok."
"Serius?" tanya Elin penuh keraguan.
"Please, jangan bohong, cerita aja sama kita!" pinta Rania.
Evren menggeleng, ia tersenyum kecil. "Nanti gue ceritain."
"Janji ya!" pinta Rania.
Evren membalasnya dengan sekali anggukkan. Kemudian Rania dan Elin duduk dibangku masing-masing seperti yang lainnya, meski mereka masih penasaran dan khawatir pada kondisi sahabatnya yang terlihat kacau.
Wiam sudah kembali ke tempat duduknya, ia masih tidak percaya Evren bisa semarah itu padanya. Matanya tidak bisa berhenti melihat ke arah Evren, terus terang saja ia sangat khawatir pada Evren yang terus-menerus memikirkan kondisi ibunya di rumah sakit. Dokter bilang penyakit maag-nya sudah kronis, pantas saja semalam ibunya merintih kesakitan bahkan sampai sesak nafas dan sempat pingsan saking tidak kuat untuk menahan rasa sakit yang diderita beliau kala itu. Tentu saja membuat semangat Evren untuk bersekolah jadi menurun. Lalu, Wiam berinisiatif untuk menghiburnya dan berusaha menemani untuk memberinya semangat supaya rasa resahnya sedikit berkurang, akan tetapi rencana itu digagalkan oleh orang asing yang belum lama ia kenal, Alby. Ia sudah menjadi saingan Wiam sejak pertama kali mereka bertemu, ia tahu bahwa Alby juga memiliki perasaan lebih pada Evren, Wiam sangat menyadari hal itu.
Ada satu kenyataan pahit yang belum Wiam ketahui hingga detik ini, bahwa Alby bukan sebatas memiliki perasaan lebih pada Evren. Melainkan lebih daripada itu, ia menyukai, mencintai, bahkan sangat menyayangi Evren, sekaligus ia memang sudah cukup lama berstatus menjadi kekasih Evren.
Wiam masih menatap Evren dari belakang sambil membatin. Lo harus tabah, Ren. Gue bakal ngelakuin apapun yang gue bisa. Tapi... Pandangannya berpaling dari Evren dan kini tertuju ke arah chairmate-nya Evren. Dia adalah pembatas antara lo dan gue. Dia harus segera disingkirkan.
"Maafin aku, Ren," tutur Alby dengan segenap rasa bersalahnya.
Evren menghela nafas sedalam-dalamnya. "Nggak, ini semua salahku, By." Setelah amarahnya mulai memudar, ia baru sadar kalau tindakannya itu kurang pantas dan amat kasar. Kini ia merasa tidak enak karena telah mempermalukan mereka berdua dihadapan teman-temannya sendiri. Lagi pula Alby dan Wiam bertengkar itu semua karenanya, pikir Evren.
Evren tertunduk lesu, Alby langsung meraih dagu kekasihnya dan meminta Evren untuk menatap matanya. "Aku ikut sedih kalo ngeliat kamu kayak gini."
"Maafin aku, Alby," tutur Evren penuh rasa bersalah.
Alby tersenyum tipis dan menggeleng. "Sekarang senyum dan sambut hari indah ini bersamaku seperti biasanya."
Bagai kerbau dicocok hidung. Evren langsung tersenyum lebar. Sekarang Evren terlihat lebih cerah. Ia sangat bersyukur memiliki kekasih seperti Alby yang selalu bisa menghipnotis dirinya untuk terus semangat dan tegar dalam menghadapi segala cobaan hidup. Teruslah menjadi penyemangatku, By.
Rania dan Elin sedaritadi menguping pembicaraan mesra antara Alby dan Evren dari belakang. Mereka sama pedulinya seperti yang Alby lakukan. Rania dan Elin segera bangkit dari kursi untuk menghampiri sahabatnya dan langsung memeluk Evren dari sisi kedua sisi dengan sangat erat. "Tenang, kita ada buat lo," hibur Rania. "Jangan sungkan untuk cerita," tambah Elin.
"Gue sayang banget sama kalian!" tutur Evren seraya membalas pelukan hangat dari kedua sahabatnya.
"Kita juga sayang sama lo," balas Elin. "Iya, itu bener!" Rania ikut mengiyakan.
"Apa lagi aku, Ren." Alby ikut menambahkan sebagai bentuk rasa kasih sayangnya pada Evren.
Sedaritadi Wiam tiada henti menatap Alby dengan penuh kecemburuan. Ia tidak terima melihat Alby bisa semesra itu pada Evren, apalagi ia sudah sangat akrab untuk bergaul dengan teman dekatnya Evren. Kalo gini caranya, kemungkinan gue untuk menang semakin tipis. Liat aja nanti, gue bakal nyingkirin lo dari hidup Evren! Dengan penuh kedendaman batin Wiam menjerit.
~•~
Alhamdulillah, akhirnya bisa tuntas juga part ini, meski kondisi perut author yang lagi keram usai bleep test 😂
Tapi ya... Author kuat-kuatin aja buat duduk sambil ngetik dilaptop buat lanjuttin nih cerita 😂
Makasih kalian udah setia menunggu❤ Asekkk ~ 😂
Salam,
Oneda_ 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
My Warm Boyfriend
Teen FictionPertemuan bukanlah keutamaan. Kedekatan bukanlah jaminan. Suka bukanlah tumpuan. Cinta bukanlah kepastian. Dan sayang bukanlah alasan. Karena orang yang benar-benar bisa menjadi penghangat, itulah yang kucari diantara kalian. ©oneda_ 01/02/18