6 [part 1]

2K 136 34
                                        

Evren POV

Pagi-pagi buta aku sudah mempersiapkan diri untuk berangkat di hari pertama masuk SMA. Awalnya aku enggan untuk melangkahkan kaki apalagi menginjak sekolah yang tidak sama sekali kuminati. Akan tetapi rasa malas itu hilang ketika bertemu dengan sosok cowok yang kuidam-idamkan. Ya, dia itu Wiam. Orang yang baru sajaku kenal dan aku menaruh hati padanya.

Terbayang-bayang selalu awal mula pertama kali kami saling dipertemukan. Cara yang ia perlihatkan padaku sangatlah unik. Seolah tiba cinta pada pandangan pertama.

Satu hal yang masih tak kupercayai dan serasa seperti sedang berada di dalam mimpi ketika sikap manis ditujukan padaku dan keluargaku. Senyumannya tulus. Pandangannya mengagumkan. Siapapun bisa terpikat, termasuk aku, si cewek pesek alami.

Ada rasa kecewa dalam lubuk hatiku ketika terhalang oleh panggilan telepon yang diterima oleh Ayahnya Wiam. Saat itu pula buyar semua harapanku.

"Aduhh, lama banget sih, Yahh ..."

Sudah lebih dari satu jam kumenunggu Ayah di dalam kamar mandi. Entah apa yang sedang Beliau lakukan yang jelas aku tidak tahu pasti. Mungkin Ayah luluran. Tapi bagusnya Beliau sudah selesai.

"Kenapa setiap pagi harus begini sih, Yah? Asal Ayah tau aja menunggu itu melelahkan! Apalagi menunggu yang tidak pasti!" gerutuku sambil melipat kedua tangan di bawah dada.

Handuk berwarna merah hati masih menempel di kepala Ayah. "Toh, kamu liat sendiri Ayah abis sampo-an-kan?" beberapa detik kemudian otak Ayah baru sinkron. "Ohh, Ayah tau! Pasti yang tadi kamu maksud itu Wiam-kan?"

Deg!

"Dasar anak muda jaman sekarang tau-nya cinta-cintaan mulu!"

Mungkin ini saat yang cocok untuk memutar balikkan kenyataan. "Bukannya Ayah sendiri pernah cerita ke Ren kalo dulu Ibu sama Ayah pertama kali ketemu pas SMA?"

Hening sekejap. "Hehe, ya juga sih."

"Nahh, pas banget sama kayak Ren dan Wiam! Jadi, Ren berhak dong ngerasain apa yang pernah Ayah sama Ibu rasain?"

"Yaudah terserah kamu gimana baiknya aja. Tapi, perlu diinget jangan sampai keasyikan."

"Tenang aja, Yah, Ren bakal positif dalam bergaul."

"Ayah!! Ayahh!!!" suara Ibu menggelar seisi rumah.

"Apa, Bu? Ayah lagi ngomong sama Ren."

"Ohh, yaudah, terusin aja dulu."

"Udah selesai, Bu. Tadi emang Ibu mau ngomong apa?"

"Gak jadi, nanti aja, Yah."

"Noh liat, Ibu kamu tiap pagi kerjaannya teriak-teriak mulu. Udah gitu kerjaannya bikin kesel orang terus, giliran Ayah lagi nggak ada kerjaan dia malah sibuk sendiri."

"Malahan bisa tiap hari kerjaannya marah-marah terus. Ayah-kan kerja jadi mana tau keseharian Ibu."

"Emang!"

"Daripada Ayah, tiap kali masuk kamar mandi entah itu lagi mandi atau buang air pasti lama banget keluarnya bisa sampai se-jam."

"Buang air kecil doang yang nggak lama," tutur Ayah mengelak.

"Sama aja atuh lebih kebanyakan lamanya!" ucapku membela diri.

"Lanjut ngomongnya nanti aja ntar kamu bisa telat berangkat sekolah." Diantara memang niat mengantarku berangkat sekolah supaya tidak terlambat atau ingin mengalihkan pembicaraan.

Setelah kupikir ulang ada benarnya juga. "Ayah aja belom pakai sepatu, udah gitu kepalanya masih handukan," tuturku sambil melihat diri Ayah secara keseluruhan.

"Asragfirullah, Ayah lupa. Kamu sih ajakkin ayah ngobrol mulu!"

"Yehhh, kok malah Ren yang disalahin?"

"Kalo kamu nggak ngajak ngobrol Ayah nggak bakal lupa."

Baiklah aku mengalah kepada yang lebih tua."Iya, Yahh, iya ..."

10 minutes later...

"Ayah perasaan pakai sepatu lama banget, padahal sepatunya bukan model tali."

"Yehh, jangan samain Ayah sama anak sekolah yang disuruh pakai sepatu kayak punya Ren."

"Ayah mahh, nggak usah ditanya kak." Tumben Raka membelaku.

"Tuhh, Raka aja tau. Si Ayah tuh harus dandan dan make perhiasan dulu," tiba-tiba Ibu ikut nimbrung.

"Yang bener, Bu?" tanyaku penasaran.

Ibu mengangguk mantap. "Liat aja tuh tanganya, kanan kiri pakai gelang sama bacin semua!"

"Iya, udah gitu gelangnya model gelang anak muda," kata Raka.

"Bukan cuma itu, coba aja kamu cium wangi badan Ayah. Tuh parfum disemprot sana-sini mulai dari depan, belakang, ketiak, bahkan bisa sampai ke bokong-bokong," Ibu kembali membongkar rahasia Ayah.

Aku mengkaitkan hal tersebut dengan jangka waktu dan cara pemakaian parfum Ayah. "Gimana parfum nggak cepet abis, orang pakainya aja sadis begitu," kataku sambil menahan tawa.

"Satu lagi, Ayah tuh kalo nyisir ribet. Harus berbentuk klimis dulu baru kelar," lanjut Ibu.

"Iya, Kak. Jadi wajar aja rambut Ayah kayak abis disasak. Soalnya kalo nyisir arahnya harus ke belakang."

"Biar apa nih, Rak?" sindirku.

"Tanya aja sendiri sama orangnya," gumam Raka seraya melirikkan matanya ke Ayah.

"Yuk Ren, kita berangkat!" ajak Ayah sambil memakai helm dan sarung tangan. "Disini ngomong mulu nggak bakal abis-abis, nanti kamu bisa telat kalo nge-dengerin terus."

Ibu dan Raka terkekeh. Begitu pula aku yang sedari tadi berusaha untuk menahan tawa.

TBC ...

My Warm BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang