Evren POV
Buku Harian
Hari ini aku terjerat omelan dari ibu dikarenakan tiba di rumah melebihi batas, untungnya aku masih punya alasan tepat.Tante Mega atau biasa disebut 'Bunda' oleh Alby, beliau ialah sosok penyayang yang kutemukan selain Ibuku tercinta. Tentu aku bisa melihat jelas dengan mata kepalaku sendiri. Cara beliau menyambut kehadiranku itu terasa amat berbeda. Sungguh hatiku sangat tersentuh.
Apa kau tahu hal gila yang terjadi padaku hari ini?
Tidak seperti Ibu-Ibu pada umunya, beliau dengan tulus mengabulkan permohonan Alby untuk mengantarku pulang ke rumah dalam keadaan selamat, meski beliau tahu bahwa keadaan fisik sang anak sedang tidak stabil.
'Antar dia pulang, sayang.' Itulah hasil terjemahan dari Alby, jujur sampai sekarang aku masih tidak begitu memahami maksud dari ucapan Beliau. Ternyata setelah kukorek informasi dari Alby, Beliau berbicara dengan menggunakan bahasa daerah yaitu Betawi.
Sudahlah itu tidak penting.
Yang jelas untuk kedua kalinya aku diantar cowok selain ayahku. Rasanya masih deg-deg-an seperti pertama kali diantar.
Dan hal yang paling kuingat hari ini adalah ketika kamu bilang aku termasuk kriteria cewek idaman. Aku benar-benar nge-fly loh ... Sampai tuh air muncrat dengan sendirinya. But, aku menikmati adegan pas nge-lap mukamu.
Aduh Alby ... Ternyata kamu romantis juga ya ...
Evren Alishba
_____
"Kak ada telepon nih."
Tadinya aku sedang asyik membaca ulang tulisan dibuku, eh ... Tiba-tiba si pengganggu datang dan akhirnya kusembunyikan Buku Harian itu dibalik boneka.
"Dari siapa?"
"Mana gue tau, nggak ada namanya cuma nomornya doang."
Nah ... Ini nih hal yang paling kubenci. Jangan-jangan telepon dari orang iseng dengan tema 'Mama minta pulsa'. Aduh ... Sumpah itu udah basi banget!
"Biarin aja nggak usah diangkat," ucapku acuh tak acuh.
"Angkat aja siapa tau penting." Raka memaksaku untuk mengangkat teleponnya.
"Coba lo angkat!" suruhku.
Di dalam hatinya pasti juga ada rasa penasaran. Makanya dia mematuhi perintahku.
"Halo."
Suara berat muncul dari speaker telepon membuat aku dan Raka jadi terkejut.
"Maaf ini siapa ya?" tanya Raka memberanikan diri.
"Ini Alby temennya, Ren."
Mendengar kata 'Alby' aku langsung merebut smartphone-ku dari tangan Raka dan cepat-cepat mematikan mode speaker-nya.
"Raka ganteng, pinter dan tidak sombong. Sekarang mending lo keluar dulu ya dari kamar gue ..." rayuku.
"Oh ... Jadi lo ngusir gue secara halus, iya-kan ...?"
"Hehehe ... Iyakk!" aku langsung mendorong tubuhnya keluar dari kamar dan lekas mengunci pintu.
"Halo, Ren."
"I-iya Alby, kenapa?"
"Itu tadi siapanya lo?"
Aku pura-pura terkekeh. "Hehehe ... Biasa itu ... Adek gue."
"Oh ... Gue baru tau. Adek lo cowok ya?"
"Emm ... Lebih tepatnya sih agak gemulai."
"Maksud lo lekong? Hahaha ..." ucapnya tertawa geli.
"Bisa jadi! Eh ... Nggak kok! Cuma bercanda doang."
"Iyee santui aee ..." Alby mulai mengeluarkan bahasa gaulnya.
"Btw, kok lo bisa tau sih nomor hp sama ID LINE gue?"
"Ada dehh ... Mau tau aja atau mau tau banget?"
Aku berdecak kesal. "Ihh ... Serius!"
Lagi-lagi anak itu terkekeh, namun kali ini lebih berisik.
"Soal itu lo nggak perlu tau. Gue nelpon lo juga ada hal penting yang mau gue sampein."
"Apa?" Ia berhasil membuatku penasaran.
"Gue mau bilang kalo muka gue jadi bau ingus gara-gara lo! Hahaha ..."
"Apaan sih nggak penting banget!" aku kecewa sekali, rupanya hanya gurauan receh dari Alby.
"Ren mau tau nggak persamaan antara lo sama bulan?"
"Sama-sama indah-kan?"
"Bukan, tapi sama-sama bopeng! Hahaha ..."
Kini aku benar-benar kesal. Hingga akhirnya kumatikan telepon Alby tanpa ada kata terakhir.
Call by 08**********
Tadi baru saja kumatikan, belum ada 5 detik dia sudah telepon lagi. Huh, biar sajalah ...
Call by 08**********
What? Masih saja telepon? Tidak Alby, aku tidak ingin menerima telepon darimu untuk saat ini!
Call by 08**********
Untuk ketiga kalinya ia telepon ulang. Aku sih sebenarnya bisa saja menghiraukan panggilannya, akan tapi entah hati ini terasa berat untuk menolak.
Alby kali ini lo termasuk cowok beruntung karena belom tentu ada cewek sebaik gue yang nerima telepon dari lo setelah lo nge-hina gue.
"Apa lagi sih?!" nadaku terdengar ketus.
"Bener apa yang lo bilang. Lo itu bagaikan bulan. Ya, gue akui lo indah, tapi sayangnya lo jauh diatas langit sedangkan gue ada di bumi. Terkadang gue susah buat mandang lo di malam hari ketika awan hitam menghalangi. Oleh sebab itu gue lagi berusaha gimana caranya supaya gue bisa ngilangin awan hitam itu, supaya gue bisa memandang keindahan lo lebih leluasa. Bukan hanya itu, gue juga nyari cara supaya bisa mandang lo meskipun dalam keadaan sunrise maupun sunset dalam jarak yang amat dekat hingga dapat menggapai lo."
Aku tak menjawab sepatah katapun. Bukan berarti aku marah, melainkan aku sedang menghayati setiap kata perkata yang telah ia ucap melalui media ini. Benarkah ini nyata? Kutampar pelan pipi squishy-ku. Iya Ren, Ini nyata! Kau sudah terbangun dari awal mentari menampakan diri dan sekarang kau belum kembali ke alam mimpi.
"Jangan marah lagi, Because lo dapet salam dari salah satu penghuni bumi yang senantiasa menantikan bulan. I hope you have a nice dream every night, See ya!"
Nada sambung berakhir.
Aku belum sempat mengucap kata terakhir untuknya. Agar kau dapat tertidur jauh lebih nyenyak dari malam sebelumnya.
Good night, Alby!
~•~

KAMU SEDANG MEMBACA
My Warm Boyfriend
Teen FictionPertemuan bukanlah keutamaan. Kedekatan bukanlah jaminan. Suka bukanlah tumpuan. Cinta bukanlah kepastian. Dan sayang bukanlah alasan. Karena orang yang benar-benar bisa menjadi penghangat, itulah yang kucari diantara kalian. ©oneda_ 01/02/18