Evren POV
Jam 5 kurang 27 menit aku sudah mempersiapkan diri untuk memasuki kelas baru. X IPS 3 itulah kelas yang akan kuhuni selama satu tahun ke depan. Beruntung aku dapat kelas yang letaknya di lantai 2. Soalnya aku tidak berminat untuk masuk ke kelas bawah—X IPS 1 ataupun X IPS 2— Because, disana sarangnya cewek-cewek hits.
Jadwal hari ini sangat padat dimulai dari jam 06.30 WIB, diadakan pembiasaan tentang keagamaan dan juga literasi terkecuali hari Senin dan Jum'at. Second, akan diisi oleh Sejarah Wajib, mata pelajaran paling membosankan plus bikin ngantuk. Third, Bahasa Inggris, pelajaran ini akan memompa semangat dari kejenuhanku. Next, bakal ada pelajaran bahasa kali ini asli dari tanah kelahiran. Yap! Bahasa Indonesia, momen yang paling kutunggu-tunggu ketika diperintah untuk membuat puisi bertema bebas dari karangan hasil jerih payah sendiri dan membacakannya dengan suara lantang di depan kelas. Mau tau alasannya? Inilah kesempatan aku buat curhat ke semua orang tentang perasaanku kala itu.
Ketiga mata pelajaran itu masing-masing berdurasi 2 jam, terkecuali Sosiologi, pelajaran ini diposisikan pada 3 jam terakhir. Degar-dengar info dari Kakak kelas, Guru Sosiologi di kelasku itu gemar bercerita panjang lebar. Huh, sungguh membosankan.
Oh ya aku baru ingat! Aku tidak akan melewati cobaan itu seorang diri, Kan ada Alby. Senangnya aku bisa sekelas lagi sama dia.
Apa jangan-jangan ini takdir? Kalo memang iya aku sangat bersyukur telah dipertemukan oleh sosok cowok seperti Alby.
"Kak lo nggak ngigo-kan? Liat tuh masih jam berapa!" Raka menunjuk kearah jam dinding di ruang keluarga.
13 menit lagi jam menunjukkan waktu tepat pukul 5 pagi. "Terus kenapa?"
Raka menatapku aneh. "Gila aja jam segini udah rapih."
Dari atas ke bawah kuamati detail. Berbeda jauh denganku, Raka masih mengenakan kaos oblong putih dan celana pendek. Bukan cuma itu, rambutnya masih acak-acakkan dan ada belek dimatanya, hingga membuatku bergidik.
"Kebiasaan lo kalo bangun nggak cuci muka dulu," sindirku.
Perlahan Raka mencongkel bagian pinggir matanya sambil malu-malu.
"Tuh liat belek lo segede apa!" Aku semakin memojoki Adikku.
Dia melempar tatapan sinis penuh dendam.
"Dek, muka lo nggak usah dijelek-jelekkin gitu kalo emang udah dasarnya jelek." Aku sengaja memancing amarah Raka.
"Belom aja gue ngadu ke Ibu kalo semalem lo abis telepon-an sama cowok," ucapnya sambil memalingkan pandangan.
"Renn, ada tamu tuh di bawahh!!"
"Iya, sebentar Buu ..."
Tumben sekali pagi-pagi begini sudah ada yang bertamu. Masa iya sih tamu untukku? Daripada penasaran mendingan aku buru-buru ke bawah.
"Rak, urusan kita belom selesai!" jari telunjukku tertuju kearahnya. Kemudian melangkah menuju lantai bawah.
Raka menanggapinya dengan ekspresi alis naik sebelah. Kelakuannya benar-benar bikin aku semakin gregetan buat nge-hajar dia.
"Ada siapa, Bu?"
"Temen kamu."
Saking penasaran aku pun berjalan hingga teras rumah.
"ALBY?!" Mulutku sampai mengangah gara-gara shock berat.
What? Tadinya kupikir tamu itu Nia. Pantas saja tak ada pesan masuk dari Nia apabila ingin berkunjung kemari. Ternyata eh ternyata ... Sang pujaan hati yang datang.
"Selamat pagi, Nona manis ..." Sapanya hangat.
"P—pagi," mulutku seketika gagap.
"Ibu salut sama kamu, Ren! Pagi-pagi begini udah diapelin sama cowok ganteng." Tiba-tiba Ibu sudah berada tepat di sebelahku.
Apa daya kuhanya bisa tertunduk dan tersipu dalam suasana ini.
"Tante bisa aja." Alby jadi cengengesan gara-gara Ibu berhasil merubah suasana ini menjadi lebih terkesan romance.
"Lo mau berangkat sekarangkan, Kak? Nih gue bawain tas dan jangan lupa pake sepatu lo! Gue udah masukkin bekel makan siangnya diresleting tas bagian tengah."
Aku terpaku melihat kelakuan Raka yang seketika berubah drastis menjadi baik hati dan perhatian.
"Terima kasih adikku tercintaahh ..."
"Gak usah pake lebay deh, Kak," ucapnya geli.
Alby dan Ibu tertawa geli melihat kelakuan kami berdua.
Lekas kukenakan semua perlengkapan sekolah, kemudian berpamitan pada Ibu dan Raka.
"Tante, Alby pamit dulu yaa."
Dengan segala hormat cowok itu mencium tangan Ibuku dan mengusap kepala Raka hingga rambutnya semakin tidak karuan."Hati-hati di jalan yaa, pulangnya jangan kesorean!" Ibu melambaikan tangan kearah kami sedangkan Raka hanya menatap datar.
"Al, lo seriusan udah sembuh?" Meskipun terlihat sehat tapi aku merasa bahwa ia belum sepenuhnya pulih.
"Terbukti gue sekarang bisa nge-boncengin lo pake motor ini dan nepatin janji gue kemarin untuk sampe di sekolah lebih pagi, itu berarti gue udah sembuh total." katanya sok kuat.
"Misal tiba-tiba lo drop lagi gimana?" aku memperhatikan wajahnya dari kaca spion.
"Kan ada lo yang bakal jadi penyembuh gue. Jadi nggak perlu khawatir." Alby sadar kalau aku memperhatikannya dari kaca spion, ia pun memberiku satu kedipan nakal yang dipenuhi sejuta makna.
~•~

KAMU SEDANG MEMBACA
My Warm Boyfriend
Roman pour AdolescentsPertemuan bukanlah keutamaan. Kedekatan bukanlah jaminan. Suka bukanlah tumpuan. Cinta bukanlah kepastian. Dan sayang bukanlah alasan. Karena orang yang benar-benar bisa menjadi penghangat, itulah yang kucari diantara kalian. ©oneda_ 01/02/18