page 20

296 24 2
                                    

Sepulang sekolah Vera mengirimi Riga pesan agar ia mau menemani gadis itu ke toko buku. Riga hanya mengikuti interupsi Vera sekalian mengorek informasi tentang Vera.

"Lama bangeeet." keluh Vera saat ia melihat Riga baru sampai di parkiran.

Siang ini memang matahari lebih membakar kulit. Untuk orang seperti Riga sih wajar saja matahari seperti ini, toh dia tidak takut hitam. Tapi orang seperti Vera mungkin ini bermasalah.

"Mau ke toko buku mana?" tanya Riga setelah meminta maaf.

"Ke mall aja deh. Gue mau sekalian belanja baju." jawab Vera.

Riga mengangguk setuju, ia segera mengeluarkan motor dari parkiran dan melajukan motornya ketika Vera sudah ada di jok belakangnya.

•-•

Sore ini mall nampak ramai dengan anak sekolahan. Kalau tidak nonton, beli buku, ya nongkrong. Kebiasaan anak SMA itu tidak bisa lepas dari tiga kegiatan itu kalau di mall.

Mereka melangkah ke toko buku. Vera memilih beli di Gramedia langsung. Riga mengikuti keinginan gadis itu saja.

"Buku lama kaya gitu gak mungkin ada di Gramedia Ver. Itu mah adanya di toko buku pinggir jalan. Lebih tepatnya buku-buku bekas yang masih bermanfaat." ucap Riga.

"Gamau Rig. Pasti ada lah disini. Secara disini semua buku ada. Ya masa buku sastra lama gaada disini." balas Vera.

"Ya tapi disini tempatnya semua buku terbitan baru. Sedangkan buku yang lo cari gak mungkin masuk katagori itu." ujar Riga.

"Gue gak mau beli yang di pinggir jalan! Panas dan kotor. Lagi pula bukunya juga gak kejamin lengkapnya." sahut Vera kesal.

Vera bilang ia sedang mencari karya sastra tahun 20-an. Buku seperti itu tidak mungkin ada di Gramedia kan? Vera menolak ajakannya mentah-mentah hanya karna toko buku pinggir jalan itu panas dan kotor karna banyak kendaraan yang berlalu lalang. Katanya nanti wajahnya kusam karna debu yang menempel di kulitnya.

Emangnya segitu khawatirnya ya perempuan pada kecantikan dirinya? Padahal Riga berpendapat perempuan itu cantik dari hatinya yang tulus, bukan dari fisiknya yang putih dan mulus.

"Ada apa ya Mas? Mba?" tanya salah satu pegawai yang menyadari ada keributan di antara mereka.

"Saya mau cari karya sastra tahun 20-an disini. Ada kan Mas?" tanya Vera.

"Maaf Mba, disini tidak ada stok buku lama. Biasanya buku-buku seperti itu adanya di buku bekas pinggir jalan. Disana juga tidak kalah kok Mba kualitasnya, harganya juga murah." balas pegawai itu.

Riga menatap Vera dengan tatapan kemenangan. Sedangkan Vera kesal setengah mati pada pegawai itu karna mempermalukannya di depan Riga.

"Gue mau beli baju aja!" kesal Vera dan keluar dari Gramedia begitu saja meninggalkan Riga yang masih berdiri disana.

"Maaf ya Mas atas kelakuan teman saya." ucap Riga sopan.

Pegawai itu mengangguk maklum.

Dengan cepat Riga mensejajarkan langkahnya dengan Vera.

"Mau beli buku dimana? Mau gue temenin beli buku di pinggir jalan?" tanya Riga.

"Gamau. Gue nitip temen gue aja yang mau beli. Ogah gue turun ke tempat begituan." balas Vera.

"Trus lo mau beli baju dimana?" tanya Riga.

"Butik biasa gue beli baju." balas Vera masih dengan jalannya yang tergesa-gesa.

Akhirnya mereka sampai tepat di depan butik yang Vera maksud. Riga sedikit tertegun. Butik yang Vera hampiri merupakan butik yang harga satu bajunya bisa jutaan rupiah. Riga menatap Vera tidak percaya.

"Kenapa harus butik ini? Lo yakin buat beli baju sampe segini mahalnya?" tanya Riga dengan nada tak suka.

"Gue emang biasa beli disini. Bahannya itu lembut, memuaskan. Bokap juga gapernah permasalahin gue belanja disini." jawab Vera.

"Emang nyokap gapernah ajak lo belanja bareng lagi?" tanya Riga.

Vera mendadak diam. Ada sedih yang menyeludup kedalam dirinya.

"Jangankan belanja bareng, bercanda bareng juga gapernah." jawab Vera dengan kepala menunduk.

Riga sama sekali tidak mengerti apa saja yang terjadi setelah kecelakaan itu. Kecelakaan itu mengubah semuanya. Riga semakin merasa bersalah karena secara tak langsung dia lah penyebab kecelakaan itu.

Riga mengusap kepala Vera lembut.

"Gih belanja, gue tunggu sini." ujar Riga..

Vera mengangguk dan tersenyum. Selanjutnya ia melupakan segala kesedihannya dengan berbelanja ria.

•-•

Riga mau marah. Tapi semuanya ia tahan. Bagaimana tidak? Vera keluar dari butik membawa lebih dari lima paper bag berisi baju yang harganya jutaan rupiah. Bukan kareba takut Vera jadi miskin, tapi kasihan Om Rian yang mencari uang kalau nyatanya uangnya dihabiskan sia-sia seperti ini.

Dulu, Rean sama sekali tidak suka belanja atau buku. Gadis itu lebih suka menghabiskan kuota 5 GB dalam seminggu untuk ngestalk cowo ganteng di sosial media. Calista selalu memaksa gadis itu belanja bersama, katanya baju Rean itu-itu saja bosan dilihat. Rean selalu menolak ajakan mamanya dengan alasan bajunya masih banyak di lemari yang Calista belikan untuknya.

Kembali ke dunia nyata, kini mereka berdua sedang makan di salah satu tempat makan yang ada di mall itu.

"Lo mau apa?" tanya Riga.

"Salad."

"Kenapa salad? Badan lo kurus begitu makannnya salad doang."

"Kalo gue makan makanan berat, nanti gaada produser yang minta gue modelin produksinya."

"Lo model?"

Vera mengangguk.

Pelayan pergi dengan membawa beberapa daftar makanan dan minuman.

"Lo punya kakak atau adik gak sih?" tanya Vera.

Vera menggeleng ragu.

"Berarti lo anak tunggal dari nyokap bokap lo?" tanya Riga lagi.

Vera mengangguk kaku.

"Lo beneran gak inget gue Ver?" tanya Riga. Matanya kini menyendu. Ia sudah tak tahan dengan semuanya.

Vera menggeleng jujur.

"Gue Bintang Ver. Lo Rean kan? Kenapa lo ganti nama? Gue sahabat lo dulu. Sahabat yang pernah lo sukain."

Vera nampak kaku dan pucat pasi.

"Maaf."

"Kenapa?"

"Karna gak inget apapun. Papa bilang gue.. Amnesia. Semua orang memperkenalkan dirinya selayaknya orang baru."

"Sorry. Gue gak tau. Dan maaf,"

"Buat apa?"

"Karna gue penyebab lo amnesia."

Vera nampak kaget. Tapi sebisa mungkin ia tersenyum.

"Gapapa. Lo bisa bantu gue buat inget semuanya."

The HiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang