page 67

176 13 0
                                    

"GALIH!"

Galih yang merasa namanya dipanggil pun menengok, meminta teman-teman sekelasnya untuk masuk duluan.

"Ada apa?" tanya Galih, menatap kedua temannya yang sedang menatapnya juga.

"Katanya lo gak kuat diemin Riga lama-lama. Kenapa kemarin pas dia minta maaf lo gak maafin?" tanya Ilham.

"Suka-suka gue dong, itu kan hak gue," balas Galih.

"Gak bisa gitu dong. Lo gak ngehargain usaha dia berarti. Katanya lo sama sekali gak marah sama dia, kenapa lo bersikap sebaliknya kemarin?" protes Ilham.

"Loh? Dia aja gak ngehargain usaha kita yang berusaha sisihin waktu buat ngumpul bareng, kenapa gue harus hargain usaha dia? Bukannya gak adil?" balas Galih.

Kedua tangan Ilham diletakkan di samping kedua pipi Galih, kemudian menekan kuat-kuat hingga bibir Galih mengerucut.

"KENAPA LO BEGINI SIH? KENAPAAAA???" tanya Ilham gemas.

"Hakit wego!" maki Galih.

"Hah? Lo ngomong apaan?" tanya Ilham masih dengan menekan kedua pipi Galih.

"Lepashh!" titah Galih.

"Ham, lepas udah," pinta Rahman.

"Gue masih gemes Man sama dia! Berubah banget ini anak! Kegedean ego tau gak!" maki Ilham.

"Ih ada yang homo," ujar salah satu siswi pada temannya sambil melirik ke arah Ilham dan Galih.

"Iyaya. Bener ternyata, kiamat udah dekat. Buktinya di sekolah kita sendiri udah ada buktinya," balas temannya.

Ilham menatap kedua siswi itu sanksi. Dengan kasar Galih menepis kedua tangan Ilham yang ada di pipinya.

"Heh! Ngomong depan gue sini! Beraninya ngomong di sana!" maki Ilham.

Kedua siswi tadi pergi dari tempat sesegera mungkin, melupakan kemungkinan yang mereka fikirkan tadi.

"Najis tau gak gue! Gara-gara lo, gue disangka homo!" ketus Galih.

"Ya– sorry, gemes sih gue sama lo! Sama temen sendiri aja perhitungan. Riga kan udah bilang dia itu hilaf!" ujar Ilham masih dengan gemasnya.

"Lo bilang lo gak kesel sama dia. Lo bilang lo udah maafin dia. Lo bilang ini bukan masalah. Lo bilang–"

"Bacot anjir. Siapa bilang gue marah sama dia? Siapa bilang gue gak maafin dia? Siapa??" tanya Galih kesal.

"Kemarin lo–"

"Gue.."

•-•

"Sh– Shaila?"

Anna mengernyit bingung.

"Ini lo La?"

"Nama gue Anna, bukan Shaila," tukas Anna.

"Anna? Gue Azam La! Lo inget gue kan pasti?"

Anna menggeleng, "Mungkin lo salah orang."

"Gue nyari lo La selama ini! Lo pasti Shaila.. Lo udah hilang beberapa tahun belakangan ini!" ujar laki-laki bernama Azam itu.

Azam mengulurkan tangannya, membantu Anna berdiri dari posisinya.

"Jadi nama gue Shaila? Lo kenal keluarga kandung gue?" tanya Anna.

"Iya, orang tua kita sahabatan, mereka bangun rumah sebelahan. Bahkan kita juga udah temenan dari kecil. Lo kenapa La? Kenapa lo gak inget apa-apa tentang gue?" tanya Azam bingung.

Anna menggeleng-geleng masih tak percaya. "Lo harus jelasin semuanya. Tentang siapa gue, di mana keluarga kandung gue, tempat tinggal gue, asal-usul gue. Lo harus jelasin. Gue amnesia."

"Apa? Lo amnesia? Maksudnya, lo gak inget apa-apa tentang diri lo? Masalalu lo? Gimana lo hidup selama ini La?" tanya Azam.

"Ada keluarga yang baik banget sama gue, mereka udah gue anggap kaya keluarga kandung. Gue juga minta bukti akurat, kalau gue Shaila."

"Oke. Gue bakalan tunjukkin, kalo lo bener-bener Shaila. Lo harus pulang! Keluarga lo nungguin lo. Mereka sedih banget karna lo ilang gitu aja."

Anna diam membeku. Bagaimana dirinya bisa meninggalkan Mama dan Papanya yang sudah baik dengannya selama ini? Ia belum siap.

"Gue gak bisa balik sekarang. Gue masih punya keluarga yang udah rawat gue selama ini."

"Gimana sama nyokap yang udah ngelahirin lo La? Lebih penting mana?" tukas Azam.

Kriiiiiing.. Kriiiiiing..

Anna bersyukur dalam hati, setidaknya ia tak harus menjawab pertanyaan berat Azam.

"Udah bel. Gue harus ke kelas sekarang," sahut Anna.

"Pulang sekolah, gue jemput lo. Lo kelas berapa?" tanya Azam.

"Gak perlu. Gue tunggu parkiran aja," balas Anna.

"Okey."

Anna segera berjalan menuju kelasnya, meninggalkan Azam yang masih memerhatikan dirinya.

•-•

Riga sangat mendambakan waktu-waktu seperti sekarang ini, berdua dengan Rean, menghabiskan waktu bersama untuk menebus beberapa waktu yang terlewat.

Pulang sekolah, Riga segera menghampiri Rean ke kelasnya. Persetan dengan beda gedung. Rean menyambutnya dengan senyum, ah mungkin lebih nyaman jika semua orang memanggilnya dengan Ocha terlebih dahulu.

"Langsung ke taman aja?" tanya Riga.

Ocha mengangguk, "Jangan pulang malam kaya kemarin lagi ya, Papa khawatir nanti."

"Siap."

Banyak mata yang menatap mereka heran sekaligus penasaran. Pasalnya, Ocha bukanlah gadis yang menjadi pusat perhatian banyak orang. Menurut mereka, Ocha hanya perempuan yang tak patut mereka perhatikan. Bagi mereka, Ocha lebih pantas diacuhkan dan dibully. Saat ini, tatapan itu berubah, ada yang menatapnya lebih hina, ada juga orang baru yang memerhatikannya.

"Besok-besok jangan ke kelas lagi ya Rig," ujar Ocha pelan.

"Risih sama mereka?" tanya Riga seolah mengerti apa yang perempuan itu khawatirkan.

"Mereka benci gue, kayanya sekarang rasa benci mereka bertambah, karna gue ada di samping lo," balas Ocha.

"Kenapa? Bukan karna gue yang ada di samping lo kali, mungkin karna lo makin cantik sekarang, jadi mereka iri," sahut Riga.

Ocha tersenyum, "Awalnya gue gak tau apa-apa tentang lo. Bahkan pertemuan di rooftop itu buat yang pertama kalinya gue ketemu lo. Tapi waktu gue cerita ke temen gue, mereka kaget, karna tau gue ketemu lo. Mereka jelasin panjang lebar siapa lo. Lo orang berpengaruh di sekolah ini Rig, semua aktivitas lo seakan semua orang tau. Semua orang tau siapa lo, semua orang tau prestasi lo, semua orang kagum sama lo. Bahkan masalah yang lagi lo hadapin saat ini pun nyebar sampai gedung Ipa, padahal lo anak Ips."

"Berasa artis ya gue," ujar Riga.

"Jangan ke kelas gue lagi ya?" pinta Ocha.

"Iya deh iya. Tapi inget ya, ada satu orang yang macem-macem sama lo, gue bakalan maju Cha. Gue gak rela, orang yang gue sayang disakitin sama orang lain."

Deg.

Jantung Ocha kembali bekerja dua kali lebih cepat. Darahnya kembali berdesir. Tubuhnya kembali mengalami reaksi aneh.

Mereka sudah berjalan hingga parkiran. Terlalu banyak kendaraan yang masih terparkir di sini.

"Rig, itu bukannya Anna?" tanya Ocha sambil menunjuk ke arah dua orang yang sedang saling diam.

Riga mengikuti arah jari Ocha. Itu benar-benar Anna, tapi bukan dengan Azhar.

"Cowo itu, namanya Azam. Dia cowo famous yang sering jadi bahan gosip temen-temen gue, berprestasi dibidang musik," jelas Ocha tiba-tiba.

"Azam? Kok lo tau sedetail itu?" tanya Riga.

"Karena gue kagum sama dia," balas Ocha dengan cengirannya.

The HiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang