Azam membuka matanya perlahan. Ia menatap langit ruangan berwarna putih polos dengan pandangan agak buram, kepalanya menengok ke kanan, lalu ke kiri. Bau obat-obatan menusuk indera penciumannya, membuat ia yakin dirinya berada di suatu tempat yang tak asing lagi.
"Om Haris?"
Yang disebut namanya pun tersenyum, yaitu pria dewasa berjas putih dengan stetoskop yang menggantung di leher.
"Sesuai perkiraan. Tepat sepuluh menit setelah kamu pingsan, kamu akan sadar," gumam Haris.
"Pusing?" tanyanya.
Azam menggeleng. Entah ia harus bersyukur atau bagaimana, karena dirinya beserta lukanya diobati oleh adik Ayahnya sendiri, Haris. Ketika seratus persen sadar, Azam langsung sadar mengapa dirinya bisa berada di sini.
"Sha—"
"Shaila ada di ruang UGD. Keadaannya cukup parah, sedangkan orang yang tabrakan dengan motormu itu meninggal dunia," ujar Haris yang sibuk membereskan sesuatu di meja samping tempat Azam berbaring.
"Saya harus liat Shaila sekarang," ujar Azam.
"Belum bisa. Lukamu masih basah sekali. Kamu juga kekurangan cairan Zam, harus diinfus dulu," balas Haris.
"Shaila kecelakaan karena saya. Jadi saya harus tanggung jawab," tegas Azam.
"Saya mengerti Azam. Tapi kamu juga butuh pengobatan. Lagipula ruang UGD juga belum terbuka. Jadi kamu di sini aja. Karna di depan UGD sudah ada mamamu dengan Ka Rani," sahut Haris.
"Tante Rani di sini? Gimana keadaannya Om?" tanya Azam.
"Kamu tau apa yang wanita lakukan ketika dirinya shock. Kalo tidak menangis ya pingsan," balas Haris.
"Ka Rani nangis sejak tadi. Mamamu juga khawatir dengan kondisi kamu juga Shaila. Kalo begitu Om balik ke ruangan dulu, jangan kemana-mana Azam," ujar Haris sebelum meninggalkan ruangan.
Azam menghela nafas untuk segalanya. Ia menatap pintu ruangan yang sudah tertutup, lalu beralih pada infusnya, kembali pada pintu, lalu menatap infusnya lagi. Dirinya merapalkan doa untuk keselamatan Anna. Anna dan orang yang tabrakan dengannya jatuh dalam kondisi yang sama. Bukan berdoa agar Anna sama seperti orang yang tabrakan dengannya, tapi ia hanya takut hal buruk terjadi pada Anna.
Dengan kasar tangan lain menarik infus dengan asal, hal itu menyebabkan rasa perih dan ngilu secara bersamaan. Langkah selanjutnya, kedua kakinya yang salah satunya diperban ia turunkan dengan hati-hati. Rasanya memang sakit. Tapi kekhawatirannya kini lebih besar daripada rasa sakitnya. Setelah duduk sempurna, Azam mencoba untuk menggerakkan kakinya yang sedang sakit.
Sakitnya tak seberapa.
Ia segera berjalan dengan tertatih-tatih, membuka pitu, lalu berjalan mencari ruang UGD di rumah sakit ini. Kakinya berdenyut sakit, tangannya juga. Ada beberapa bagian yang perih, mungkin luka tanpa darah di beberapa bagian tubuh. Tangan tempat infus ditancap juga ngilu karna dicabut paksa. Setelah ini ia harus siap menerima omelan adik Ayahnya itu.
"Ma."
Ambar menoleh kala mendengar suara anaknya.
"Kok kamu di luar? Infus yang ada di tanganmu kemana Azam?" tanya Ambar.
"Shaila gimana keadaannya?" tanya Azam mengabaikan pertanyaan Ambar.
"Belum keluar, masih di dalam," balas Rani dengan suara khas sehabis orang menangis.
"Tan.. Maafin Azam karna—"
"Kamu gak salah Azam. Fokus pada kesehatanmu dulu Azam, kamu butuh istirahat, Tante gak mau kalian berdua sama-sama sakit," potong Rani.
"Dengar itu Azam. Dimana infusanmu?" tanya Ambar.
"Aku copot Ma," balas Azam.
"Infusanmu kan bisa dibawa kemana-mana Azam! Kenapa kamu lepas?!" tanya Ambar.
"Eung.." cicit Azam sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal sama sekali.
"Keluarga Nona Shaila?"
Seketika Azam menghela nafas lega saat sang dokter keluar dari ruang UGD. Rani, Ambar, maupun Azam langsung menoleh dan menghampiri dokter.
"Saya Mamanya, Dok, bagaimana keadaan anak saya?" tanya Rani.
"Anak ibu mengalami pendarahan yang sangat banyak di kepala. Saat ini saya sedang mencari golongan darah anak ibu karena di rumah sakit ini stok-nya sedang habis," balas dokter bernam-tag Sinta Arinda.
"Biar saya yang donor darah untuk Shaila, Dok. Golongan darah saya dengan Shaila sama," ujar Azam angkat bicara.
"Kalau begitu kamu harus ikut saya untuk tes di laboratorium terlebih dahulu," ujar Dokter Sinta.
"Baik Dok."
"Tapi Zam kamu—"
"Ma, ini buat Shaila. Azam lagi tebus rasa bersalah Azam. Biarin aku donorin darahku ya?" potong Azam.
Ambar menghela nafas. "Yasudah."
"Azam akan baik-baik saja," ujar Rani sambil menggenggam tangan Ambar.
"Ya. Mereka akan baik-baik saja."
•-•
Riga membuka ruang obrolannya dengan Anna di aplikasi LINE ponselnya. Mereka memang tidak pernah bertukar pesan lagi sejak Rean masuk rumah sakit. Kekhawatirannya pada Rean melebihi segala-galanya. Dan tadi siang, itu merupakan hal yang mengejutkan karena Anna datang tanpa memberitahunya terlebih dahulu.
Sebenarnya ada sebersit rasa bersalah saat dirinya menolak ajakan Anna untuk berbicara. Riga yakin perempuan itu bukan hanya membicarakan hal yang tidak penting. Tapi janjinya pada Rean tak bisa ia ingkari. Lalu, perasaan apa yang sedang ia rasakan perihal Anna?
Jantungnya tak pernah tenang. Sering kali berdebar kencang tanpa alasan dengan otak yang memikirkan keadaan Anna. Pesan yang Riga kirim pun belum terjawab sejak beberapa jam yang lalu. Hari mulai tengah malam, tapi matanya enggan untuk dipejamkan. Padahal ia sangat lelah.
Atau besok saja ia berbicara pada Anna? Sekaligus membicarakan hal yang ingin Anna bicarakan. Seminggu tak bicara rasanya aneh. Apa ia terlalu larut memikirkan Rean hingga lupa pada Anna?
Anna
Kayanya lo capek banget ya?
Atau udah tidur?
Good night deh, nice dream Na✨
Sampai ketemu besok:)
•||•
Buat kamu yang gondok karena cerita ini gak kelar-kelar, tenang ya, sebentar lagi selesai kok😁
Aku berharap banget jumlah page-ya di bawah 100. Pegel juga yang baca, gak berfaedah pula.
See you next page💦
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden
Teen Fiction•TAHAP REVISI• Rindu yang mendalam hanya bisa diobati dengan temu. Tapi bagaimana jika pertemuan itu adalah hal yang paling kamu takuti dan kamu inginkan dalam satu waktu? Kecelakaan beberapa tahun silam membuat rasa bersalah itu tak kunjung hilang...