Jadi selama ini gue sama Anna friendzone dong?
Vera kembali menghabiskan ice cream miliknya yang mulai mencair, membiarkan Riga berfikir lebih dalam tentang hal ini.
"Apa semua hubungan friendzone itu salah?" tanya Riga.
Menetralisir otaknya, Vera terdiam selama beberapa detik untuk memikirkan jawaban yang pas.
"Menurut gue gak salah sebenernya. Cuma gue masih kurang srek aja sama orang-orang yang bilang kalo pertemanan antara perempuan sama laki-laki itu gak murni, pasti ada yang jatuh cinta. Menurut gue enggak. Perasaan itu ada karna rasa tertarik yang ada sejak awal. Mereka aja yang ngatasnamain sahabat sebagai status hubungan mereka. Buat friendzone itu sendiri kan gak salah juga sebenernya, hubungan dekat menyerupai sepasang kekasih dengan status teman atau sahabat, hm, emang lo mau terus bertahan didalam lingkaran friendzone itu sendiri?"
"Perasaan gue masih abu-abu Ver. Kalau Rean belum ketemu, perasaan gue tetap kaya gini, gak bisa diubah."
Vera menghela nafas panjang. Susah ternyata bicara pada Riga.
"Gue kasih kontak temen gue ke lo deh. Nanti lo tanya-tanya ke dia ya. Gue yakin dia bisa bantu lo."
"Siapa? Orang yang lo ceritain tadi?"
Vera mengangguk sebagai jawaban.
"Gue udah kenal lo sejak kecil sebenernya," ujar Vera.
"Sejak kecil?"
"Sebenernya gak dari kecil juga, remaja lah bisa dibilang. Pas lo lagi deket-deketnya sama Rean."
"Gimana bisa?"
"Mungkin gue semacam, penggemar rahasia? Gue milih buat suka sama lo diam-diam. Bahkan gue suka sama lo jauh sebelum lo ketemu Rean, jauh sebelum gue ketemu Rean," balas Vera dengan nada santainya.
"Nama panggil lo dulu Vera kan? Bahkan sekedar denger nama lo aja, gue gak pernah," sahut Riga.
"Pernah tau siapa pemenang acara quis matematika tingkat DKI Jakarta sewaktu lo kelas dua SMP?"
Riga mengangguk, tanda mengingatnya. "Anak kelas 8C yang pintar banget, cantik, baik, pendiam. Namanya— eh gue baru sadar anjir! Itu lo?!"
Vera tersenyum kecil mengiyakan.
"Dulu perasaan gue tulus sama lo, tapi begitu masuk SMA, gue rasa perasaan gue berubah jadi obsesi, obsesi ingin memiliki karena lo punya kuasa cukup kuat di sekolah ini. Gue kaya dipelet sama orang, gencar banget sih abisan ngejar lo-nya. Terus, temen gue di Bandung ini kaya Ustadnya yang nyadarin gue kalo gue baru aja dipelet."
"Lo nuduh gue pelet lo?!"
"Enggak. Cuma perumpamaan aja. Mana mungkin lo pelet gue? Gak usah pakai pelet pun gue bisa jatuh cinta."
"Trus pas ketemu gue lagi? Kesannya gimana?"
"Bingung. Kalo cowo yang tiba-tiba ngajak jalan gitu sih banyak ya, gue ayoin aja. Tapi lo beda. Gak tau kenapa kaya ada yang beda aja waktu lo yang lakuin itu, apalagi pas lo bawa gue ke taman, langsung nostalgia gitu di mana gue lagi nyesek-nyeseknya."
"Sorry."
"Tapi gue bahagia kok. Bahkan sebenernya gue gak mau pulang pas lo minta kita pulang. Nyaman aja gitu. Tapi ternyata perasaan gue berubah jadi obsesi yang susah buat diberentiin."
"Gimana ceritanya lo bisa satu rumah sama Rean? Rean gak pernah cerita apapun ke gue. Gimana lo selama ini di dalam rumah Rean? Trus, apa aja yang terjadi sama lo dan Rean sebenernya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden
Teen Fiction•TAHAP REVISI• Rindu yang mendalam hanya bisa diobati dengan temu. Tapi bagaimana jika pertemuan itu adalah hal yang paling kamu takuti dan kamu inginkan dalam satu waktu? Kecelakaan beberapa tahun silam membuat rasa bersalah itu tak kunjung hilang...