page 57

192 14 3
                                    

Gisel berdecak kesal karna abangnya tak kunjung henti mondar-mandir di depan sofa ruang tamu. Mengganggu.

"Berhenti kek Bang! Tumbenan banget lo di rumah. Biasanya juga ngayab. Kalo gak ke rumah Bang Rahman, ya ke rumah Kak Anna. Sana-sana!" usir Gisel.

"Brisik!" sahut Riga.

Besok hari Senin. Tapi Riga masih tidak tau bagaimana caranya untuk menghindar dari Anna, bagaimana menahan rasa sakit jika disindir teman-temannya lagi, bagaimana caranya ia bertahan ditengah kecanggungan. Riga masih tidak mengerti.

"Sel, lo tau gak sih caranya gimana ngehindar dari cewe?" tanya Riga pada Gisel.

Gisel menoleh sekali, menatap Riga bingung, bertahan hingga tiga detik, lalu kembali pada ponselnya lagi.

"Gampang aja sih. Kalo itu cewe suka sama lo, pergi aja sama cewe lain. Nanti juga cewe itu ngehindar karena ngerasa gak pantas," balas Gisel.

"Gue jahat dong?" tanya Riga.

"Dari awal aja niat lo jahat. Sekalian aja sampai cara-caranya jadi jahat."

"Lo enak ngomong gitu. Gue gimana yang ngejalanin?" ujar Riga frustasi.

Gisel meletakkan ponselnya di atas meja. "Emang lo ngehindarin siapa sih? Orang yang suka sama lo?" tanya Gisel.

"Intinya cewe."

"Yaudah. Lo diemin aja dia. Dinginin aja. Gitu aja kok ribet!"

Riga hanya bisa berharap besok merupakan hari keberuntungannya, bukan sebaliknya.

•-•

Kusut di pagi hari merupakan perasaan rutin yang selalu Riga rasakan akhir-akhir ini. Terlebih, ini adalah hari Senin. Selain hari yang memang paling tidak disukai semua murid, hari Senin ini juga merupakan hari yang sama sekali ia tak harapkan.

Hanya perlu menghitung menit saja sebelum ada panggilan untuk ke ruang kepala sekolah selagi parah murid lain upacara rutin.

Ting!

RIGR [4]

Galih: gece lah ke ruang kepsek

Ilham: tanggung, satu nomor lg kelar ini pr

Rahman: otw

Tidak ada yang leave, tidak ada juga yang mengeluarkan dirinya dari grup itu seperti kebanyakan kasus yang sama dengan dirinya. Grup memang tidak pernah ramai, tapi untuk hal genting seperti ini, mungkin pengiriman chat diperlukan. Atau, mereka buat grup baru? Membayangkannya saja membuat dada Riga sesak.

Meninggalkan kelas yang sudah ramai, Riga berjalan keluar kelas dengan beban berat di tubuhnya.


"Katanya ada empat orang, dua orang lagi mana?" tanya Pak Zulfi selaku kepala sekolah.

"Lagi ada sedikit urusan di kelas Pak, nanti pasti ke sini," balas Rahman.

Pak Zulfi hanya mengangguk-ngangguk mengerti.

"Kalian kenal Pak Rian darimana?" tanya Pak Zulfi.

Rahman melirik ke arah Riga, meminta untuk jawab pertanyaan yang kepala sekolah lontarkan.

"Saya dan yang lain teman dekat anaknya saat dulu SMP."

"Vera?" tanya Pak Zulfi.

Riga menggeleng keras, "Bukan. Tapi anaknya yang hilang sampai sekarang, namanya Rean."

"Pak Rian anaknya hilang? Astagfirullah.."

Riga hanya tersenyum tipis. Duduk di samping Rahman yang hanya diam rasanya aneh. Padahal dulu Rahman memang seperti ini, diam dan kaku. Tapi kenapa sekarang terasa sedikit menegangkan?

The HiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang