page 56

199 15 0
                                    

Setelah selesai berdiskusi, Rian meninggalkan empat laki-laki itu karena ada jadwal rapat. Untuk biaya makan, semuanya ditanggung Rian. Maka dari itu, keempat laki-laki itu masih stay di bangku masing-masing sambil makan.

Sunyi. Memang tak ada lagi Ilham yang menjaili Galih. Tidak ada Rahman yang menengahi. Tidak ada. Semuanya bisu, hingga Galih secara tiba-tiba menggeser bangku yang didudukinya ke belakang dan berdiri.

"Gue duluan ke mobil, malas di sini lama-lama," ujarnya. Tanpa menunggu jawaban, Galih meninggalkan meja dengan gelas cocacola di tangannya.

"Andai ini piring bisa dibawa pulang. Udah gue bawa ke mobil sejak Om Rian pamit kali," celetuk Ilham sambil menyendok nasi serta lauk yang siap dimasukkan ke dalam mulutnya.

Rahman hanya menatap Ilham dengan tatapan datar.

Riga merasakan hawa kecanggungan. Hingga Ilham benar-benar pergi, menyisakan Rahman yang masih ada sekitar tiga sampai lima sendok nasi lagi, dan Riga yang masih duduk tenang di sana dengan hati berdebar-debar.

Hanya Rahman yang tidak menghujatnya, hanya Rahman yang mengerti dirinya, hanya Rahman yang tau apa mau Riga, hanya Rahman yang mengenal dirinya, hanya Rahman yang ia percaya. Sehingga saat Rahman ingin bangun, Riga berani menahan Rahman dengan menyentuh tangan Rahman yang dibalus switter maroonnya.

"Gue minta waktu lo sebentar, bisa?" tanya Riga.

"Enggak, masih ada acara setelah ini," balas Rahman dingin.

"Sepuluh menit aja, gue mohon," pinta Riga dengan nada memohon setengah frustasi.

Rahman tampak diam berfikir. Setelahnya laki-laki itu melepas tangan Riga dari tangannya, lalu kembali duduk.

"Kenapa?" tanya Rahman to the point.

Segitu marahnya ya kalian sama gue? Parah banget sih gue, ujar Riga dalam hati.

"Gue mau minta maaf. Sama lo, sama Ilham, sama Galih. Gue minta maaf, gue beneran gak sadar ngelakuin semua itu," ucap Riga tulus.

"Minta sama anak-anak yang lain, jangan ke gue," balas Rahman, masih dengan nada dinginnya.

"Gue tau cuma lo yang tenang hadapin gue. Gue tau mereka terlanjur benci sama gue," ujar Riga.

"Benci? Secepat itu lo nyimpulin mereka benci lo? Darimana? Darimana lo bisa nyimpulin gitu?" tanya Rahman masih dengan nada dingin tanpa intonasi.

"Mereka gak mau tatap muka sama gue. Tapi gue beneran gak tau kalo gue terlalu fokus sama Anna Man. Kalo aja kalian bisa ingetin gue dari awal, mungkin gue gak akan kaya gini sekarang," ujar Riga berusaha meyakinkan.

"Lo salahin kita?" tanya Rahman.

"Man please, gue emang salah, tapi menurut gue, ini bukan salah gue sepenuhnya," balas Riga.

Rahman hanya menatap Riga datar.

"Okey, iya, kalian enggak salah, gue yang salah. Dan gue berhak dapat kesempatan kan? Gue janji—"

"Janji yang lo buat cuma jadi salah satu cara supaya gue maafin lo, setelah dimaafin, lo akan kembali," putus Rahman.

"Lalu gue harus apa Man? Gue harus apa supaya kalian percaya gue lagi?" tanya Riga setengah frustasi.

Lagi-lagi Rahman hanya menatap Riga datar.

"Lo lagi berantem sama Anna?" tanya Rahman menebak.

"Mungkin. Gue gak peduli, bahkan gue gak buka pesan dari dia sama sekali dari terakhir kalian ngunjungin rumah gue. Kalian pulang, chat gak pernah berlangsung," jelas Riga, berharap sedikit mengembalikan kepercayaan Rahman dan menumbuhkan sedikit rasa empati.

Rahman menghela nafas berat dan panjang. "Kapan dewasanya sih Rig? Lo fikir dengan cara lo ninggalin Anna gitu aja kita bakalan senang? Kita bukan gak suka sama Anna, tapi kita gak suka sama sikap lo yang pilih kasih tentang waktu!"

"Gak apa-apa Man. Justru, kalo gue berhubungan sama Anna, gue gak bisa lepas dari hp. Apa-apa bawanya hp. Sampai gue lupa kebutuhan utama gue, ya karena selalu bawa hp. Please Man, percaya, gue bakalan berubah," bujuk Riga.

"Gue gak mau dibilang perusak hubungan lo sama Anna ya. Jangan jadikan kami sebagai alasan lo menjauh dari Anna, karna kami gak pernah maksa lo," tegas Rahman.

"Iya. Gue bakalan bilang kalo ini adalah keinginan gue sendiri."

"Dan jangan menyesal kalau suatu hari nanti bakalan ada yang ngerebut posisi lo di hati Anna," ujar Rahman.

Riga sempat terdiam memikirkan kalimat Rahman sebelum perlahan ia mengangguk meski ada keraguan yang besar di sana. "Gue gak apa-apa. Yang penting ada kalian yang selalu ada buat gue."

"Kadang ada beberapa hal yang memang cuma bisa diatasi sama perempuan. Kadang ada beberapa emosional yang hanya dipahami perempuan."

"Contohnya?"

"Lo cerita, emosi lo terpancing. Otomatis, kita juga terpancing, karna secara umum, emosi kita sama. Sedangkan perempuan? Mereka memang emosi, tapi mereka lebih mengutamakan hati nuraninya dibanding emosi yang memang tidak bisa dimenangkan oleh mereka. Jangan gegabah Riga, nanti lo nyesel."

"Gak akan. Kalau pun masalah seperti itu ada, gue bakalan selesain ini semua sama Rean. Gue akan cerita sama dia dan minta pendapat dia, gak perlu Anna."

"Yaudah terserah elo. Yang penting gue udah bilangin. Dan soal permintaan maaf lo, bilang ke yang lain. Karna kalo mereka maafin, gue juga maafin lo."

"Ganti handphone lo?" tanya Rahman ketika melihat ponsel asing yang ada di atas meja.

Riga mengangguk mengiyakan.

"Mau ngehindar?" tanya Rahman lagi.

"Bukan, waktu itu ponsel gua geter terus di sofa karna Anna nelpon. Gue diemin, hp nya jatoh ke bawah, ternyata pecah. Buat memory card sama kartu SIM masih utuh, jadi masih gue pakai."

Rahman mengangguk-ngangguk paham. Tiba-tiba Galih masuk ke dalam dengan wajah kesalnya menghampiri Rahman.

"Betah banget lo anjir di dalam! Kalo makanannya belum abis udah tinggalin aja. Besok-besok biar gue traktir lagi di sini asalkan bertiga aja! Lo gak takut ganggu jadwal itu orang sama cewenya? Gak takut dikacangin lagi lo?" sembur Galih.

"Galih—"

Riga hanya bisa menunduk diam, menelan semua kalimat yang Galih ucapkan. Semuanya terasa menusuk dan perih hingga ulu hati.

"Lo lupa sama acara lo sendiri? Gak usah lah ladenin dia. Lo mau bikin Aliya nunggu? Udah pada siap semuanya, tinggal lo tembak, selesai!" lanjut Galih.

"Iya Gal iya, ayo, gue baru selesai tadi," ujar Rahman menyudahi.

Tanpa kalimat pamit kedua cowo itu meninggalkan meja tanpa melirik Riga sama sekali.

Hati Riga mencelos rasanya. Aliya? Rahman mau nembak Aliya? Adik kelas waktu itu? Astaga, mereka beneran dekat?

Inilah hal-hal yang paling Riga sesali, ketika dirinya tidak mengetahui apa-apa, padahal informasi ada di depan mata. Hanya karena dirinya tutup mata, semuanya terlihat tidak ada apa-apa.

Ponselnya ia kunci kembali, memanggil pelayan yang biasa membawa buku menu, memesan makanan lagi yang banyak.

Ia harap hatinya bisa sedikit sembuh setelah ia makan.

The HiddenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang